Social Icons

Pages

Rabu, 12 Maret 2014

PSS SLEMAN DAN SEPAKBOLA BERTEMPO CATUR


3 hari yang lalu akhirnya saya bisa menyempatkan diri kembali menghambur ke tribun stadion ini, tempat biasa aku dan beberapa rekanku menyaksikan tim kebanggaan kami berlaga, PSS Sleman.
Beberapa laga sudah saya lewatkan karena kesulitan mencuri waktu ( bolos –red) dari pekerjaan demi menyaksikan PSS berlaga, resiko dari pekerjaan yang tidak berperi-kesepakbolaan.

Laga-laga sebelumnya adalah laga ujicoba yang mau tak mau harus diakui sebagai ujicoba yang membosankan pasca alih kekuasaan Lafran Pribadi – Sartono Anwar, meskipun bertajuk ujicoba tim besar ( dalam pandangan saya ) namun yang tersaji tak lebih baik dari turnamen catur tingkat kecamatan, berjalan lambat dan sangat berhati-hati membangun serangan meski ujungnya pun muspro.

2 laga ujicoba sudah saya lewatkan sebelumnya dan setidaknya ada pemikiran dalam kepala saya seharusnya PSS Sleman-nya Sartono Anwar  sudah memiliki spirit dan skema baru yang akan menghentak dan membuat penonton berdecak kagum dengan agresifitas tim yang katanya bernafsu menembus Super Liga musim depan ini saat menjamu Persisam Putra Samarinda.

Toh, kenyataannya berbalik, sampai saat ini permainan seperti itu masih sebatas angan dari seorang anak laki-laki yang terkadang harus membolos kerja demi mengisi salah satu sudut tribun merah Stadion Maguwoharjo.

Minggu, 9 Maret 2014

Pertandingan ujicoba kembali digelar, Elang Jawa menjamu Persisam, iya itu lho tim yang belakangan disorot media terkait sepak terjang mereka di liga musim lalu dengan Spaso dan Bayu Gatra-nya.

Dan sore itu sepertinya mau tak mau saya harus menerima kembali di PHP, permainan PSS Sleman belum juga menunjukan adanya perubahan, kolektivitas mereka masih dibawah standar, determinasi dan agresifitas mereka belum seperti tim yang benar-benar berniat lolos ISL musim depan, mendekati tim musim lalu pun belum.

Kesalahan mendasar semisal passing, skema monoton “control-long ball-lari-hilang” masih terlampau sering  saya lihat, 20 menit interval pertama ? jangan salahkan jika saya banyak menguap.

Perhatian saya tertuju pada pemain kacangan disisi kiri kubu PSS Sleman. Entah siapa yang merekomendasikan pemain bernomor punggung 12 yang sehari kemudian saya ketahui bernama Ridwan Fakdawer (atau Mozart Imbiri ?), entahlah namun kenyataannya tak lebih baik dari pemain divisi I PSSI cabang Sleman.

Berani benar staff tim tersebut merekomendasikan pemain macam itu, apa dipikir PSS hanya tim lereng gunung yang sama sekali tak memiliki standar kualitas pemain ?

Baru 15 menit pemain tersebut diganti Wahyu Gunawan, salah satu pemain favorit saya.
Kembali ke alur pertandingan, pasca masuknya Cak Gun duet Adelmund dan Waluyo terlihat makin solid, secondline Persisam jelas terlihat kesulitan menembus pertahanan Sleman di interval pertama, meski harus diakui bahwa PSS pun miskin kreatifitas dilini tengah.

Babak pertama selesai bersamaan dengan habisnya batang rokok yang saya bakar.

Interval kedua dimulai, PSS masih juga tak terlihat membuat perubahan skema, double pivot lini tengah PSS jarang sekali membuat key-pass pada Guy Junior, Guy sendiri lebih terlihat seperti Along KW 2 yang terkadang terlalu lama menggoreng bola.

Meski pada akhirnya PSS menang 1-0 lewat gol Guy Junior setelah memanfaatkan screamage didepan gawang Persisam, tapi itu bukan cerminan PSS Sleman sudah layak berada di liga tertinggi negeri ini, masih banyak cacat dalam tim ini, determinasi, kolektifitas, ketajaman striker, komunikasi antar lini masih sangat minim.

Sehari setelahnya saya coba bertanya pada seorang teman yang selalu update urusan soal PSS Sleman, mencari alasan kenapa PSS masih bermain seperti anak hilang, kemudian saya menerima jawaban yang cukup masuk akal.

“Sartono Anwar sampai saat ini masih fokus kepembentukan stamina pemain, jadi dia belum menyentuh bagian taktik dan formasi tim.” – bisa dimaklumi.

Sebagai catatan ringan saja jikalau Sartono Anwar atau staff official membaca tulisan dari seorang fans yang senang mengkritisi suatu hal tanpa data dan fakta yang matang ini-

“Fans datang ke stadion, berteriak lantang, dan begitu semangatnya melagukan chants, sebagian besar dari mereka menginginkan tim mereka bermain atraktif, agresif, dan menang.”

“Sebagian dari mereka ingin sepakbola bertipe hardcore, yang sehari setelahnya para pemain masih bisa merasa nyeri disekujur tubuh mereka, tanda mereka bermain maksimal tanpa kompromi”

“Sebagian kecil dari mereka ingin dikemudian hari PSS Sleman dikenal sebagai tim yang tanpa rasa takut menjemput poin, dikandang ataupun tandang, bukan hanya klub daerah yang tersorot media karena dua sisi tribun yang selalu bising sepanjang pertandingan.”

2 komentar:

 
Blogger Templates