3 hari yang lalu akhirnya saya bisa menyempatkan diri
kembali menghambur ke tribun stadion ini, tempat biasa aku dan beberapa rekanku
menyaksikan tim kebanggaan kami berlaga, PSS Sleman.
Beberapa laga sudah saya lewatkan karena kesulitan mencuri
waktu ( bolos –red) dari pekerjaan demi menyaksikan PSS berlaga, resiko dari
pekerjaan yang tidak berperi-kesepakbolaan.
Laga-laga sebelumnya adalah laga ujicoba yang mau tak mau
harus diakui sebagai ujicoba yang membosankan pasca alih kekuasaan Lafran
Pribadi – Sartono Anwar, meskipun bertajuk ujicoba tim besar ( dalam pandangan
saya ) namun yang tersaji tak lebih baik dari turnamen catur tingkat kecamatan,
berjalan lambat dan sangat berhati-hati membangun serangan meski ujungnya pun muspro.
2 laga ujicoba sudah saya lewatkan sebelumnya dan setidaknya
ada pemikiran dalam kepala saya seharusnya PSS Sleman-nya Sartono Anwar sudah memiliki spirit dan skema baru yang
akan menghentak dan membuat penonton berdecak kagum dengan agresifitas tim yang
katanya bernafsu menembus Super Liga musim depan ini saat menjamu Persisam
Putra Samarinda.
Toh, kenyataannya berbalik, sampai saat ini permainan
seperti itu masih sebatas angan dari seorang anak laki-laki yang terkadang
harus membolos kerja demi mengisi salah satu sudut tribun merah Stadion
Maguwoharjo.
Minggu, 9 Maret 2014
Pertandingan ujicoba kembali digelar, Elang Jawa menjamu
Persisam, iya itu lho tim yang belakangan disorot media terkait sepak terjang
mereka di liga musim lalu dengan Spaso dan Bayu Gatra-nya.
Dan sore itu sepertinya mau tak mau saya harus menerima
kembali di PHP, permainan PSS Sleman belum juga menunjukan adanya perubahan,
kolektivitas mereka masih dibawah standar, determinasi dan agresifitas mereka
belum seperti tim yang benar-benar berniat lolos ISL musim depan, mendekati tim
musim lalu pun belum.
Kesalahan mendasar semisal passing, skema monoton
“control-long ball-lari-hilang” masih terlampau sering saya lihat, 20 menit interval pertama ?
jangan salahkan jika saya banyak menguap.
Perhatian saya tertuju pada pemain kacangan disisi kiri kubu PSS Sleman. Entah siapa yang merekomendasikan pemain bernomor punggung
12 yang sehari kemudian saya ketahui bernama Ridwan Fakdawer (atau Mozart
Imbiri ?), entahlah namun kenyataannya tak lebih baik dari pemain divisi I PSSI
cabang Sleman.
Berani benar staff tim tersebut merekomendasikan pemain
macam itu, apa dipikir PSS hanya tim lereng gunung yang sama sekali tak
memiliki standar kualitas pemain ?
Baru 15 menit pemain tersebut diganti Wahyu Gunawan, salah
satu pemain favorit saya.
Kembali ke alur pertandingan, pasca masuknya Cak Gun duet
Adelmund dan Waluyo terlihat makin solid, secondline Persisam jelas terlihat
kesulitan menembus pertahanan Sleman di interval pertama, meski harus diakui
bahwa PSS pun miskin kreatifitas dilini tengah.
Babak pertama selesai bersamaan dengan habisnya batang rokok
yang saya bakar.
Interval kedua dimulai, PSS masih juga tak terlihat membuat
perubahan skema, double pivot lini tengah PSS jarang sekali membuat key-pass
pada Guy Junior, Guy sendiri lebih terlihat seperti Along KW 2 yang terkadang
terlalu lama menggoreng bola.
Meski pada akhirnya PSS menang 1-0 lewat gol Guy Junior
setelah memanfaatkan screamage didepan gawang Persisam, tapi itu bukan cerminan
PSS Sleman sudah layak berada di liga tertinggi negeri ini, masih banyak cacat
dalam tim ini, determinasi, kolektifitas, ketajaman striker, komunikasi antar
lini masih sangat minim.
Sehari setelahnya saya coba bertanya pada seorang teman yang
selalu update urusan soal PSS Sleman, mencari alasan kenapa PSS masih bermain
seperti anak hilang, kemudian saya menerima jawaban yang cukup masuk akal.
“Sartono Anwar sampai saat ini masih fokus kepembentukan
stamina pemain, jadi dia belum menyentuh bagian taktik dan formasi tim.” – bisa
dimaklumi.
Sebagai catatan ringan saja jikalau Sartono Anwar atau staff
official membaca tulisan dari seorang fans yang senang mengkritisi suatu hal
tanpa data dan fakta yang matang ini-
“Fans datang ke stadion, berteriak lantang, dan begitu
semangatnya melagukan chants, sebagian besar dari mereka menginginkan tim
mereka bermain atraktif, agresif, dan menang.”
“Sebagian dari mereka ingin sepakbola bertipe hardcore, yang
sehari setelahnya para pemain masih bisa merasa nyeri disekujur tubuh mereka,
tanda mereka bermain maksimal tanpa kompromi”
izin share
BalasHapussilahkan, sertakan sumbernya :)
BalasHapus