Social Icons

Pages

Senin, 17 Maret 2014

Save Shinji Kagawa !


Jika saja Yudhistira tak menerima tawaran judi yang dilemparkan Durna, jika Hitler tak menggebrak dunia dengan faham fasisnya, dan jika Kagawa tak menerima pinangan Manchester United diawal musim 2012-2013. Mungkin segalanya akan berbeda.

Gambar

Siapa yang sangka pemain dari timur jauh mampu begitu mendominasi tim sebesar Borussia Dortmund, hingga mampu berkali-kali mempersulit raja di liga lokal Jerman Bayern Munchen ?

Menyelamatkan Karir Kagawa mungkin bukan judul yang terlalu mengada-ada.

Semenjak ia datang ke Old Trafford sudah sangat jelas performanya yang semakin terjun bebas. Kurangnya kepercayaan diri dan tekanan dari publik yang jauh berbeda dengan yang ia dapatkan di Jerman mungkin bisa menjadi satu alasan mutlak.

Di Bundesliga, kemampuan eksplosif dan keuletannya sudah tak perlu dipertanyakan, lihat saja berapa kali ia menjadi motor serangan bersama Reus dan Goetze dilini tengah Dortmund.

Dibekali tehnik dan daya jelajah luar biasa, serta kepercayaan dari Juergen Klopp musim itu adalah modal utama Kagawa yang tak ia dapatkan di United.

Dipaksa menjadi pelapis Rooney dibelakang van Persie, atau menjadi inverted winger dadakan ala Ashley Young, dan minimnya kepercayaan dari Sir Alex membuat Kagawa seperti kacrut diantara para pemain mahal yang belum tentu lebih baik dari dia.

Semusim sudah ia lewatkan bersama Setan Merah, dan hasilnya memang Manchester United mampu menjuarai Liga Inggris, namun secara individu Kagawa belum menunjukan kurva menanjak seperti yang ia tunjukan di Dortmund.

Meski kini David Moyes yang memegang kendali kapal United, belum tentu nasib Kagawa akan lebih baik dari musim lalu, sebagai seorang yang sangat mengagumi Kagawa, saya lebih memilih meminjamkan Kagawa atau melegonya sekalian sebelum karir Kagawa seperti Juan Veron atau Jordi Cruyff di Old Trafford, meski jelas saya juga akan menanggung kekecewaan jika hal itu terjadi sebab saya juga fans MU.

Tawaran Klopp untuk memboyong kembali Kagawa ke Westfallen Stadium mungkin adalah obat manjur untuk mengembalikan kebugaran dan visi sepakbola Kagawa, meski sang pemain sendiri mengaku masih ingin membuktikan diri di Inggris.

Seperti yang saya sebutkan diatas, tawaran ini seperti halnya perjudian Yudhistira. Menang judi dan mendapatkan kembali kejayaan dan ketenaran, atau tetap bertahan hingga beradaptasi sempurna dengan sepakbola Inggris yang dikenal keras.

Sotoyopinion saya untuk Kagawa. Bertahan satu musim dan buktikan mampu menjadi otak serangan United, jika gagal silahkan kembali ke Jerman, mengulangi kenangan manis seperti Nuri Sahin.

Happy Birthday Shinji, Hope All Will Be Better Soon, My Idol

*tulisan dari blog lain saya thefootballspy.wordpress.com - 28 Juli 2013
*sengaja saya post ulang memperingati hari ulang tahun idola saya, Shinji Kagawa

David Moyes, Dan Kampanye Fans ( Yang Katanya ) Sejati


Akhir pekan ini, tepat tanggal 16 Maret 2014 sebuah cerita besar terjadi di Old Trafford.


Bukan, bukan tentang aksi heroik Robin Van Persie yang mengobrak-abrik barisan pertahanan Liverpool yang dijaga Martin Skrtel, bukan pula sigapnya Rafael Da Silva mematikan laju Raheem Sterling disisi kanan pertahanan United, ini tentang bagaimana United seperti kembali ke kodratnya sebagai barisan pemain cupu tanpa arah selama 90 menit.


Ya, setelah merebaknya surat terbuka fans untuk sang manajer yang dielu-elukan seisi timeline, kembali Manchester United harus menerima kekalahan memalukan dari Liverpool, klub yang musim lalu masih menjadi bahan bully-an cabe-cabean Manchester United yang tak jarang akun facebooknya bernama “Youdhe ManchunianSelalu Untuk Selamanya”, sudahlah lupakan, mungkin ia mengantuk dan ogah ogahan membaca informasi apa itu arti Manchunian.


Diawal musim siapa fans United yang tak bahagia ketika David Moyes ditunjuk Sir Alex Ferguson untuk menggantikannya menahkodai klub sebesar United ? tak dipungkiri saya pun bahagia dan tak sabar menanti trofi demi trofi bertambah dilemari United Museum.


Sepak terjang Moyes di EPL sudah cukup membuktikan ia manager yang berkualitas, menelurkan banyak bintang seperti Ross Barkley, Maroune Fellaini hingga Leighton Baines, pemain yang sebelumnya sama sekali tak diincar klub klub berduit yang kini antri memburu tanda tangan mereka, kecuali Fellaini yang sudah menjadi pupuk bawang dibarisan lini tengah United.


Satu partai yang meyakinkan diawal musim, kemudian setelahnya ? United bermain seperti Everton Reserve yang sekonyong-konyong dipaksa bermain di Premiership, canggung dan bingung. Setelahnya bisa ditebak, United dipukul berkali-kali hingga bahkan klub medioker macam West Bromwich Albion sanggup mencuri 3 angka di Old Trafford dengan Morgan Amalfitano sebagai provokatornya.


Moyes adalah seorang yang paling santun di Liga Inggris pasca melatih United, baginya tamu adalah raja, dan 3 poin melayang adalah hal biasa, di konferensi pers ? seperti belakangan ini, ia hanya menyalahkan wasit yang tak memberi pinalti, wasit yang memihak klub lawan, dan baru sekali merasa bersalah ketika membuat United tersungkur ketika bersua Olimpiacos.


Jika ada yang patut disalahkan dengan panasnya situasi ruang ganti, buruknya performa dilapangan, dan kurangnya gairah menang United belakangan ini, siapa yang lebih patut disalahkan ? Wayne Rooney yang bertambah gemuk dan mulai berwarna hijau seperti Shrek ? atau Van Persie yang sudah mulai dimakan usia dan encoknya sering kambuh ? Rio Ferdinand yang lebih sering jualan topi daripada bermain bola ? atau mungkin Shinji Kagawa yang kesulitan beradaptasi dan berkompetisi dengan Adnan Januzaj ?


Tentu saja bukan mereka inti permasalahannya, Moyes adalah faktor utama yang seharusnya segera sadar dan angkat kaki sebelum menjadi public enemy fans cerdas yang tak mau ikut dalam kampanye #InMoyesWeTrust yang mungkin sebenarnya dipopulerkan oleh tim fans tim lain macam Chelsea, City, Liverpool, bahkan mungkin Hull City.


Jikapun ada yang berkata “Moyes itu pilihan Sir Alex Ferguson, jika Moyes disalahkan berarti kalian menyalahkan Sir Alex !?”.-- tentu saja Sir Alex pun salah dalam hal ini, memilih manager dengan pertimbangan muda, suka pemain muda, sama-sama berfaham sosialis dan berasal dari Skotlandia, tapi ternyata tak becus mengatur tim sehebat United.


Masihkan ingat ucapan “tak ada pemain yang lebih besar daripada klub itu sendiri” –maka tak ada juga manager yang lebih besar dari klub, klub adalah prioritas utama, manajer atau eks-manager yang berjasa besar membesarkan klub bukan santo yang tak pernah salah.

Semakin hari saya pribadi tak menyukai gaya kepelatihan Moyes.


Dipertandingan melawan Liverpool akhir pekan kemarin, coba saja cermati pergantian pemain yang dilakukan Moyes, jelas jauh dari kata efektif. Tak ada pemain subtitusi yang merubah gaya permainan United, mati gaya, kemudian dibully habis-habisan oleh Stevie G dan Clattenberg. Bahkan Liverpudlian pun sampai mengibarkan banner memalukan "David Moyes is a football genius". Memalukan.




Maka sudahilah sandiwara kalian pura-pura menjadi fans sejati Manchester United dengan hastag #InMoyesWeTrust, sebenarnya kalian ini fans United atau fans David Moyes ?


Fans loyal bukan diukur dari banyaknya hashtag serupa ketika United selesai bertanding, tapi dari berapa uang yang kalian habiskan membeli tiket, jersey dan pernik di Megastore, versi kere-nya ya setidaknya pedulilah dengan nasib tim kalian kedepan, mau terseok-seok dan nir-gelar bertahun-tahun, atau membuat spekulasi baru hingga menemukan sosok ngotot dan haus gelar seperti Sir Alex, bukan manager yang targetnya hanya lolos Liga Champions.


Minggu, 16 Maret 2014

Daripada Mati, Cacat atau Babak Belur, Biarlah Trofi Melayang


Interlude


Mei 2006, sebuah skandal besar dalam sepakbola terungkap, masihkah diingat ?
Calciopoli, menyeret Juventus yang selama ini dikenal sebagai langganan capolista panggung Serie-A bersama Fiorentina, Lazio dan AC Milan harus menerima hukuman pengurangan poin hingga degradasi ke kasta kedua liga Italia.


Sebuah kejadian besar yang mulai merubah persepsi saya tentang sepakbola, sebuah skandal yang menggugah saya dari polosnya pengetahuan tentang sepakbola, sebuah konspirasi yang menghancurkan kepercayaan saya pada gaya permainan sepakbola penuh gairah kemenangan.


Sejak detik itu, pandangan saya pada sepakbola mulai bergeser, yang secara tak sadar menyeret saya semakin mendalami olahraga ini hingga keberbagai aspek didalamnya, sesuatu yang tak mereka tunjukan dipanggung hijau.


Beberapa tahun setelahnya, skandal kembali mengguncang olahraga yang saya cintai ini, medio 2010-2011 kasus suap dan pengaturan skor terungkap mengerogoti jerohan induk sepakbola Indonesia, tokoh utamanya mungkin sudah tak asing...Nurdin Halid.



Seiring waktu saya mendapat kesempatan ikut menjadi salah satu bagian tim yang berkecimpung di satu liga amatir kabupaten. Laga demi laga kami (tim saya) lewati dengan kemenangan gemilang, nyaris sapu bersih dan menggelontorkan banyak gol bukan hal yang biasa bagi kami. Saya merasa tim ini memiliki potensi juara, sekumpulan pemuda yang penuh talenta.


Lolos fase grup kemudian kami menatap 6 besar yang dibagi menjadi 2 grup,  pertandingan pertama difase ini kami lewati dengan hanya meraih poin 1, meski bukan hasil buruk , namun meleset deari target 3 poin adalah hal yang selalu saya sesali dalam sepakbola.


Saya berkata dalam hati, kami harus menang dipertandingan terakhir, akan saya kerahkan semua motivasi agar tim bermain maksimal, 4 poin atau draw dengan selisih gol tak terlalu banyak sebenarnya sudah meluncurkan roket kami ke kasta utama. Final adalah target kami.


Sore harinya saya terkejut mendapatkan informasi dari pengasuh tim, bahwa hasil pertandingan esok hari sudah diatur, dan hasil draw adalah satu-satunya hasil yang maksimal kami dapatkan. Meskipun saya ngotot berkilah bahwa tim siap bertarung habis-habisan toh tak akan merubah pendirian pengasuh.


Keamanan, adalah faktor yang menjadi pertimbangan “calciopoli level semenjana” ini. Suporter atau mungkin lebih pantas saya sebut kumpulan barbar yang menjadi pendukung tim lawan kami adalah kumpulan orang yang sudah kondang dengan kebrutalan mereka, Ultras ? Hooligans ? bukan, saya bahkan sangsi mereka mengerti artian harfiah kata tersebut.

Meski hanya sekelas tarkam, fanatisme sempit mereka membawa mereka pada budaya babarian, seek and destroy. Sebuah cerita singkat yang saya dapatkan dari penjelasan pengasuh tim, mereka bahkan melakukan sweeping identitas dan melakukan aksi keroyokan terhadap pendukung tim lawan tahun lalu saat perjalanan pulang usai pertandingan. Hebatnya, badan liga daerah kami bahkan takut dan lebih memilih mengatur pertandingan.


Saya sejujuranya tak mau babak belur meski dalam hati pun tak mau menerima keputusan menjijikan ini. Sepanjang perjalanan berangkat ke venue pertandingan kata-kata legenda Inggris dan Newcastle United menganggu pikiran saya – “Sepakbola bukan hanya tentang mencetak gol, ini tentang kemenangan”—


Jalannya pertandingan meleset satu gol dari rencana calciopoli level semenjana ini, kami kalah selisih satu gol plus sepanjang pertandingan tak henti-hentinya dihujani botol air minum dan kembang api.


Sampai disini adakah yang sanggup mengambil poin ? Jika belum biarkan saya sedikit menarik kesimpulan pribadi.


Bercermin dari level liga kami, sudah bisa disimpulkan bahwa badan liga negara ini dari hulu hingga hilir sudah akrab dengan yang namanya pengaturan skor. Alasannya ? macam-macam, tinggal pilih yang mana.


Sepakbola sebagai alat politik.


Ini juga tak asing lagi bagi para politikus yang ingin meningkatkan popularitas. Sama seperti halnya pengertian agama bagi beberapa kaum atheis “agama hanya pengumpulan massa”, begitu pun sepakbola. Demokrasi yang dianut negeri ini pun tak jauh beda, yang banyak -- yang menang. Jadi sebenarnya ya sama busuknya.


Sepakbola semakin hari juga tak luput menjadi tunggangan sebagian tokoh untuk naik kasta politik, saya tak kaget ketika suporter lawan yang saya sebutkan diatas chanting satu nama yang kemudian hari saya ketahui mengincar satu kursi dipanggung politik.


Jika dicermati baik-baik. Seharusnya anda mendapat sedikit gambaran tentang liga kita, dimana tim yang memiliki pendukung dengan tingkat kebrutalan level 10 adalah tim-tim yang paling sering mengangkat trofi.


“Daripada mati, cacat atau babak belur, lebih baik trofi melayang” – mungkin itu yang ada dibenak para pengasuh tim di Liga Indonesia.


Maka dari itu, jadilah pendukung tim yang brutal, tak kenal takut, sering menimbulkan kerusuhan masiv, dan chaos sepanjang pertandingan agar tim anda ditakuti badan liga, kemudian juara.


Jika sudah seperti itu, maka tinggal menunggu waktu sampai busuknya otoritas sepakbola kita masuk ke portal berita seantero dunia.


Mau ? mampu ? sanggup seperti itu ? – jadilah pecinta sepakbola yang berfikir.

Rabu, 12 Maret 2014

PSS SLEMAN DAN SEPAKBOLA BERTEMPO CATUR


3 hari yang lalu akhirnya saya bisa menyempatkan diri kembali menghambur ke tribun stadion ini, tempat biasa aku dan beberapa rekanku menyaksikan tim kebanggaan kami berlaga, PSS Sleman.
Beberapa laga sudah saya lewatkan karena kesulitan mencuri waktu ( bolos –red) dari pekerjaan demi menyaksikan PSS berlaga, resiko dari pekerjaan yang tidak berperi-kesepakbolaan.

Laga-laga sebelumnya adalah laga ujicoba yang mau tak mau harus diakui sebagai ujicoba yang membosankan pasca alih kekuasaan Lafran Pribadi – Sartono Anwar, meskipun bertajuk ujicoba tim besar ( dalam pandangan saya ) namun yang tersaji tak lebih baik dari turnamen catur tingkat kecamatan, berjalan lambat dan sangat berhati-hati membangun serangan meski ujungnya pun muspro.

2 laga ujicoba sudah saya lewatkan sebelumnya dan setidaknya ada pemikiran dalam kepala saya seharusnya PSS Sleman-nya Sartono Anwar  sudah memiliki spirit dan skema baru yang akan menghentak dan membuat penonton berdecak kagum dengan agresifitas tim yang katanya bernafsu menembus Super Liga musim depan ini saat menjamu Persisam Putra Samarinda.

Toh, kenyataannya berbalik, sampai saat ini permainan seperti itu masih sebatas angan dari seorang anak laki-laki yang terkadang harus membolos kerja demi mengisi salah satu sudut tribun merah Stadion Maguwoharjo.

Minggu, 9 Maret 2014

Pertandingan ujicoba kembali digelar, Elang Jawa menjamu Persisam, iya itu lho tim yang belakangan disorot media terkait sepak terjang mereka di liga musim lalu dengan Spaso dan Bayu Gatra-nya.

Dan sore itu sepertinya mau tak mau saya harus menerima kembali di PHP, permainan PSS Sleman belum juga menunjukan adanya perubahan, kolektivitas mereka masih dibawah standar, determinasi dan agresifitas mereka belum seperti tim yang benar-benar berniat lolos ISL musim depan, mendekati tim musim lalu pun belum.

Kesalahan mendasar semisal passing, skema monoton “control-long ball-lari-hilang” masih terlampau sering  saya lihat, 20 menit interval pertama ? jangan salahkan jika saya banyak menguap.

Perhatian saya tertuju pada pemain kacangan disisi kiri kubu PSS Sleman. Entah siapa yang merekomendasikan pemain bernomor punggung 12 yang sehari kemudian saya ketahui bernama Ridwan Fakdawer (atau Mozart Imbiri ?), entahlah namun kenyataannya tak lebih baik dari pemain divisi I PSSI cabang Sleman.

Berani benar staff tim tersebut merekomendasikan pemain macam itu, apa dipikir PSS hanya tim lereng gunung yang sama sekali tak memiliki standar kualitas pemain ?

Baru 15 menit pemain tersebut diganti Wahyu Gunawan, salah satu pemain favorit saya.
Kembali ke alur pertandingan, pasca masuknya Cak Gun duet Adelmund dan Waluyo terlihat makin solid, secondline Persisam jelas terlihat kesulitan menembus pertahanan Sleman di interval pertama, meski harus diakui bahwa PSS pun miskin kreatifitas dilini tengah.

Babak pertama selesai bersamaan dengan habisnya batang rokok yang saya bakar.

Interval kedua dimulai, PSS masih juga tak terlihat membuat perubahan skema, double pivot lini tengah PSS jarang sekali membuat key-pass pada Guy Junior, Guy sendiri lebih terlihat seperti Along KW 2 yang terkadang terlalu lama menggoreng bola.

Meski pada akhirnya PSS menang 1-0 lewat gol Guy Junior setelah memanfaatkan screamage didepan gawang Persisam, tapi itu bukan cerminan PSS Sleman sudah layak berada di liga tertinggi negeri ini, masih banyak cacat dalam tim ini, determinasi, kolektifitas, ketajaman striker, komunikasi antar lini masih sangat minim.

Sehari setelahnya saya coba bertanya pada seorang teman yang selalu update urusan soal PSS Sleman, mencari alasan kenapa PSS masih bermain seperti anak hilang, kemudian saya menerima jawaban yang cukup masuk akal.

“Sartono Anwar sampai saat ini masih fokus kepembentukan stamina pemain, jadi dia belum menyentuh bagian taktik dan formasi tim.” – bisa dimaklumi.

Sebagai catatan ringan saja jikalau Sartono Anwar atau staff official membaca tulisan dari seorang fans yang senang mengkritisi suatu hal tanpa data dan fakta yang matang ini-

“Fans datang ke stadion, berteriak lantang, dan begitu semangatnya melagukan chants, sebagian besar dari mereka menginginkan tim mereka bermain atraktif, agresif, dan menang.”

“Sebagian dari mereka ingin sepakbola bertipe hardcore, yang sehari setelahnya para pemain masih bisa merasa nyeri disekujur tubuh mereka, tanda mereka bermain maksimal tanpa kompromi”

“Sebagian kecil dari mereka ingin dikemudian hari PSS Sleman dikenal sebagai tim yang tanpa rasa takut menjemput poin, dikandang ataupun tandang, bukan hanya klub daerah yang tersorot media karena dua sisi tribun yang selalu bising sepanjang pertandingan.”

 
Blogger Templates