Interlude
Mei 2006,
sebuah skandal besar dalam sepakbola terungkap, masihkah diingat ?
Calciopoli,
menyeret Juventus yang selama ini dikenal sebagai langganan capolista panggung
Serie-A bersama Fiorentina, Lazio dan AC Milan harus menerima hukuman pengurangan
poin hingga degradasi ke kasta kedua liga Italia.
Sebuah
kejadian besar yang mulai merubah persepsi saya tentang sepakbola, sebuah
skandal yang menggugah saya dari polosnya pengetahuan tentang sepakbola, sebuah
konspirasi yang menghancurkan kepercayaan saya pada gaya permainan sepakbola
penuh gairah kemenangan.
Sejak detik
itu, pandangan saya pada sepakbola mulai bergeser, yang secara tak sadar
menyeret saya semakin mendalami olahraga ini hingga keberbagai aspek
didalamnya, sesuatu yang tak mereka tunjukan dipanggung hijau.
Beberapa
tahun setelahnya, skandal kembali mengguncang olahraga yang saya cintai ini,
medio 2010-2011 kasus suap dan pengaturan skor terungkap mengerogoti jerohan
induk sepakbola Indonesia, tokoh utamanya mungkin sudah tak asing...Nurdin
Halid.
Seiring
waktu saya mendapat kesempatan ikut menjadi salah satu bagian tim yang
berkecimpung di satu liga amatir kabupaten. Laga demi laga kami (tim saya)
lewati dengan kemenangan gemilang, nyaris sapu bersih dan menggelontorkan
banyak gol bukan hal yang biasa bagi kami. Saya merasa tim ini memiliki potensi
juara, sekumpulan pemuda yang penuh talenta.
Lolos fase
grup kemudian kami menatap 6 besar yang dibagi menjadi 2 grup, pertandingan pertama difase ini kami lewati
dengan hanya meraih poin 1, meski bukan hasil buruk , namun meleset deari
target 3 poin adalah hal yang selalu saya sesali dalam sepakbola.
Saya berkata
dalam hati, kami harus menang dipertandingan terakhir, akan saya kerahkan semua
motivasi agar tim bermain maksimal, 4 poin atau draw dengan selisih gol tak
terlalu banyak sebenarnya sudah meluncurkan roket kami ke kasta utama. Final
adalah target kami.
Sore harinya
saya terkejut mendapatkan informasi dari pengasuh tim, bahwa hasil pertandingan
esok hari sudah diatur, dan hasil draw adalah satu-satunya hasil yang maksimal
kami dapatkan. Meskipun saya ngotot berkilah bahwa tim siap bertarung
habis-habisan toh tak akan merubah pendirian pengasuh.
Keamanan,
adalah faktor yang menjadi pertimbangan “calciopoli level semenjana” ini. Suporter
atau mungkin lebih pantas saya sebut kumpulan barbar yang menjadi pendukung tim
lawan kami adalah kumpulan orang yang sudah kondang dengan kebrutalan mereka,
Ultras ? Hooligans ? bukan, saya bahkan sangsi mereka mengerti artian harfiah
kata tersebut.
Meski hanya
sekelas tarkam, fanatisme sempit mereka membawa mereka pada budaya babarian, seek and destroy. Sebuah cerita singkat
yang saya dapatkan dari penjelasan pengasuh tim, mereka bahkan melakukan
sweeping identitas dan melakukan aksi keroyokan terhadap pendukung tim lawan
tahun lalu saat perjalanan pulang usai pertandingan. Hebatnya, badan liga
daerah kami bahkan takut dan lebih memilih mengatur pertandingan.
Saya
sejujuranya tak mau babak belur meski dalam hati pun tak mau menerima keputusan
menjijikan ini. Sepanjang perjalanan berangkat ke venue pertandingan kata-kata
legenda Inggris dan Newcastle United menganggu pikiran saya – “Sepakbola bukan
hanya tentang mencetak gol, ini tentang kemenangan”—
Jalannya
pertandingan meleset satu gol dari rencana calciopoli level semenjana ini, kami
kalah selisih satu gol plus sepanjang pertandingan tak henti-hentinya dihujani
botol air minum dan kembang api.
Sampai
disini adakah yang sanggup mengambil poin ? Jika belum biarkan saya sedikit
menarik kesimpulan pribadi.
Bercermin
dari level liga kami, sudah bisa disimpulkan bahwa badan liga negara ini dari
hulu hingga hilir sudah akrab dengan yang namanya pengaturan skor. Alasannya ?
macam-macam, tinggal pilih yang mana.
Sepakbola sebagai alat politik.
Ini juga tak
asing lagi bagi para politikus yang ingin meningkatkan popularitas. Sama
seperti halnya pengertian agama bagi beberapa kaum atheis “agama hanya
pengumpulan massa”, begitu pun sepakbola. Demokrasi yang dianut negeri ini pun
tak jauh beda, yang banyak -- yang menang. Jadi sebenarnya ya sama busuknya.
Sepakbola
semakin hari juga tak luput menjadi tunggangan sebagian tokoh untuk naik kasta
politik, saya tak kaget ketika suporter lawan yang saya sebutkan diatas
chanting satu nama yang kemudian hari saya ketahui mengincar satu kursi
dipanggung politik.
Jika
dicermati baik-baik. Seharusnya anda mendapat sedikit gambaran tentang liga
kita, dimana tim yang memiliki pendukung dengan tingkat kebrutalan level 10
adalah tim-tim yang paling sering mengangkat trofi.
“Daripada
mati, cacat atau babak belur, lebih baik trofi melayang” – mungkin itu yang ada
dibenak para pengasuh tim di Liga Indonesia.
Maka dari
itu, jadilah pendukung tim yang brutal, tak kenal takut, sering menimbulkan
kerusuhan masiv, dan chaos sepanjang pertandingan agar tim anda ditakuti badan
liga, kemudian juara.
Jika sudah
seperti itu, maka tinggal menunggu waktu sampai busuknya otoritas sepakbola
kita masuk ke portal berita seantero dunia.
Mau ? mampu
? sanggup seperti itu ? – jadilah pecinta sepakbola yang berfikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar