Social Icons

Pages

Minggu, 16 Maret 2014

Daripada Mati, Cacat atau Babak Belur, Biarlah Trofi Melayang


Interlude


Mei 2006, sebuah skandal besar dalam sepakbola terungkap, masihkah diingat ?
Calciopoli, menyeret Juventus yang selama ini dikenal sebagai langganan capolista panggung Serie-A bersama Fiorentina, Lazio dan AC Milan harus menerima hukuman pengurangan poin hingga degradasi ke kasta kedua liga Italia.


Sebuah kejadian besar yang mulai merubah persepsi saya tentang sepakbola, sebuah skandal yang menggugah saya dari polosnya pengetahuan tentang sepakbola, sebuah konspirasi yang menghancurkan kepercayaan saya pada gaya permainan sepakbola penuh gairah kemenangan.


Sejak detik itu, pandangan saya pada sepakbola mulai bergeser, yang secara tak sadar menyeret saya semakin mendalami olahraga ini hingga keberbagai aspek didalamnya, sesuatu yang tak mereka tunjukan dipanggung hijau.


Beberapa tahun setelahnya, skandal kembali mengguncang olahraga yang saya cintai ini, medio 2010-2011 kasus suap dan pengaturan skor terungkap mengerogoti jerohan induk sepakbola Indonesia, tokoh utamanya mungkin sudah tak asing...Nurdin Halid.



Seiring waktu saya mendapat kesempatan ikut menjadi salah satu bagian tim yang berkecimpung di satu liga amatir kabupaten. Laga demi laga kami (tim saya) lewati dengan kemenangan gemilang, nyaris sapu bersih dan menggelontorkan banyak gol bukan hal yang biasa bagi kami. Saya merasa tim ini memiliki potensi juara, sekumpulan pemuda yang penuh talenta.


Lolos fase grup kemudian kami menatap 6 besar yang dibagi menjadi 2 grup,  pertandingan pertama difase ini kami lewati dengan hanya meraih poin 1, meski bukan hasil buruk , namun meleset deari target 3 poin adalah hal yang selalu saya sesali dalam sepakbola.


Saya berkata dalam hati, kami harus menang dipertandingan terakhir, akan saya kerahkan semua motivasi agar tim bermain maksimal, 4 poin atau draw dengan selisih gol tak terlalu banyak sebenarnya sudah meluncurkan roket kami ke kasta utama. Final adalah target kami.


Sore harinya saya terkejut mendapatkan informasi dari pengasuh tim, bahwa hasil pertandingan esok hari sudah diatur, dan hasil draw adalah satu-satunya hasil yang maksimal kami dapatkan. Meskipun saya ngotot berkilah bahwa tim siap bertarung habis-habisan toh tak akan merubah pendirian pengasuh.


Keamanan, adalah faktor yang menjadi pertimbangan “calciopoli level semenjana” ini. Suporter atau mungkin lebih pantas saya sebut kumpulan barbar yang menjadi pendukung tim lawan kami adalah kumpulan orang yang sudah kondang dengan kebrutalan mereka, Ultras ? Hooligans ? bukan, saya bahkan sangsi mereka mengerti artian harfiah kata tersebut.

Meski hanya sekelas tarkam, fanatisme sempit mereka membawa mereka pada budaya babarian, seek and destroy. Sebuah cerita singkat yang saya dapatkan dari penjelasan pengasuh tim, mereka bahkan melakukan sweeping identitas dan melakukan aksi keroyokan terhadap pendukung tim lawan tahun lalu saat perjalanan pulang usai pertandingan. Hebatnya, badan liga daerah kami bahkan takut dan lebih memilih mengatur pertandingan.


Saya sejujuranya tak mau babak belur meski dalam hati pun tak mau menerima keputusan menjijikan ini. Sepanjang perjalanan berangkat ke venue pertandingan kata-kata legenda Inggris dan Newcastle United menganggu pikiran saya – “Sepakbola bukan hanya tentang mencetak gol, ini tentang kemenangan”—


Jalannya pertandingan meleset satu gol dari rencana calciopoli level semenjana ini, kami kalah selisih satu gol plus sepanjang pertandingan tak henti-hentinya dihujani botol air minum dan kembang api.


Sampai disini adakah yang sanggup mengambil poin ? Jika belum biarkan saya sedikit menarik kesimpulan pribadi.


Bercermin dari level liga kami, sudah bisa disimpulkan bahwa badan liga negara ini dari hulu hingga hilir sudah akrab dengan yang namanya pengaturan skor. Alasannya ? macam-macam, tinggal pilih yang mana.


Sepakbola sebagai alat politik.


Ini juga tak asing lagi bagi para politikus yang ingin meningkatkan popularitas. Sama seperti halnya pengertian agama bagi beberapa kaum atheis “agama hanya pengumpulan massa”, begitu pun sepakbola. Demokrasi yang dianut negeri ini pun tak jauh beda, yang banyak -- yang menang. Jadi sebenarnya ya sama busuknya.


Sepakbola semakin hari juga tak luput menjadi tunggangan sebagian tokoh untuk naik kasta politik, saya tak kaget ketika suporter lawan yang saya sebutkan diatas chanting satu nama yang kemudian hari saya ketahui mengincar satu kursi dipanggung politik.


Jika dicermati baik-baik. Seharusnya anda mendapat sedikit gambaran tentang liga kita, dimana tim yang memiliki pendukung dengan tingkat kebrutalan level 10 adalah tim-tim yang paling sering mengangkat trofi.


“Daripada mati, cacat atau babak belur, lebih baik trofi melayang” – mungkin itu yang ada dibenak para pengasuh tim di Liga Indonesia.


Maka dari itu, jadilah pendukung tim yang brutal, tak kenal takut, sering menimbulkan kerusuhan masiv, dan chaos sepanjang pertandingan agar tim anda ditakuti badan liga, kemudian juara.


Jika sudah seperti itu, maka tinggal menunggu waktu sampai busuknya otoritas sepakbola kita masuk ke portal berita seantero dunia.


Mau ? mampu ? sanggup seperti itu ? – jadilah pecinta sepakbola yang berfikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates