ilustrasi Jono |
Jono adalah seorang pemuda tanggung yang berasal dari Wonolagi, sebuah dusun yang jauh dari pusat kota Wonosari, Yogyakarta. Jauh dari hingar-bingar dan gemerlapnya terang lampu.
Memasuki usia 20 tahun, Jono memutuskan untuk menikah dan
merantau ke Ibukota, berbekal do’a orang tua, ijazah sekolah dasar, dan skill “laden
tukang” yang ia pelajari turun temurun dari bapak dan tetangganya, ia berkeinginan memperbaiki nasib disana.
Mimpinya sederhana, ia akan bekerja tekun hingga memiliki
uang cukup untuk menghidupi istrinya, syukur-syukur bisa mengirimi orang tua
dikampungnya kelak. Apakah pilihan Jono tepat ?
Jono adalah lakon banyak pemuda tanggung Indonesia, nekat,
berani mengambil resiko, dan penuh bahan bakar mimpi, tanpa banyak prediksi apa
yang akan ia hadapi nanti.
Menapaki bulan pertama di Ibukota Jono tak kunjung mendapat
pekerjaan, terlebih ia datang di waktu yang tidak tepat, babak belur ia dihajar
kondisi dan pandemi, ia memilih pulang dan kembali merajut harap di tanah
sendiri.
Selang beberapa bulan setelah pulang, Jono bertemu dengan
pemuda yang bertanya alamat dan memperkenalkan diri bernama Ramandha, seorang staff lapangan
sebuah perusahaan start-up fintech yang bergerak dibidang peer-to-peer lending dan
berencana melakukan sosialisasi di kampungnya, tergopoh-gopoh Jono menangkap
setiap kalimat yang dijelaskan staff tersebut, sebagian yang bisa dia tangkap
adalah kata “investasi syariah, investor, lembaga keuangan, pinjaman
modal, dan mengembangkan usaha”, dari beberapa kalimat tersebut hanya dua terakhir
yang mampu ia cerna, sisanya menguap bersama teriknya matahari siang itu.
.
Dewasa ini memang telah banyak lembaga baik dari pemerintah
maupun swasta yang melakukan penetrasi hingga ke pelosok untuk menyuarakan
perihal inklusi keuangan maupun literasi keuangan.
Apa sih itu inklusi keuangan ?
Inklusi keuangan adalah sebuah kondisi dimana setiap anggota
masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang
berkualitas, tepat waktu, lancar, dan aman dengan biaya terjangkau sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Di Indonesia, kelompok masyarakat
yang diprioritaskan untuk mendapat akses keuangan antara lain masyarakat
berpenghasilan rendah (dalam hal ini MBR atau keluarga prasejahtera), pelaku
UMKM, pekerja migran, wanita, disabilitas, anak terlantar, lansia, penduduk
daerah tertinggal, serta pelajar dan pemuda. (wikipedia)
Sederhananya inklusi keuangan adalah permudahan akses keuangan
bagi masyarakat lapisan terbawah yang belum atau tidak tersentuh bank (unbanked)
sehingga diharapkan memiliki daya untuk membeli barang atau jasa secara efektif
dan berkesinambungan.
.
Sekarang kita kembali ke kondisi Jono, Jono belum memiliki asset
berharga yang mampu menjadi nilai tawarnya untuk mendapat kucuran dana guna memulai
rencana usaha. Di dompetnya hanya terselip selembar kartu tanda penduduk yang belum lama ia dapatkan, plastik
laminatingnya pun masih hangat, dikantong dompet sebelahnya ada sisa pas foto dia
dan istrinya sewaktu mengurus surat surat matrimoni dulu. Cukupkah ?
Disitulah salah satu fungsi positif inklusi
keuangan,kemudahan akses yang dapat dipertanggung jawabkan. Dampak langsung
bagi masyarakat adalah aksesiblitas terhadap produk layanan keuangan, yang
nantinya diharapkan mampu mempersempit kesenjangan ekonomi dan sosial dimasyarakat.
Dengan inklusi keuangan,kita dapat merangsang pertumbuhan
dari desa, memperbaiki daya beli masyarakat, dan meningkatkan pendapatan
perkapita daerah !
“jika pendapatan meningkat, kesejahteraan masyarakat desa
dipastikan meningkat juga bapak - ibu !” –seru Ramandha
“Ooooh ngono…” jawab Jono datar.
Peer-to-Peer
Lending Sebagai Salah Satu Sarana Investasi.
Kita tinggalkan dulu Jono yang penuh tanda Tanya di
kepalanya, dan Ramandha yang penuh semangat mengedukasi diforum sosialisasinya.
Pernahkah kita iseng menilik gawai dan membuka aplikasi
stocks ?
Stocks atau saham adalah surat yang menjadi bukti individu
memiliki bagian modal suatu perusahaan, dengan surat tersebut maka individu
terkait memiliki klaim atas pendapatan dari asset perusahaan tersebut,
sejatinya ini adalah simbiosis mutualisme, perusahaan mendapat modal investasi dan
investor mendapat keuntungan signifikan.
Namun pada masa pandemi seperti ini banyak harga saham yang
nir-progress, tidak kunjung berkembang, terjerembab, nilainya jatuh. Rekan virtual
penulis bahkan sempat ngomel di media social karena saham yang dia investasikan
di salah satu perusahaan telekomunikasi tidak kunjung membaik nilainya.
Peer-to-peer lending adalah sebuah sarana lain untuk
berinvestasi online, metode ini muncul pertama di Inggris pada tahun 2005, yang
menghubungkan pendana atau lender dengan peminjam secara online.
Di Indonesia sendiri sudah cukup banyak start-up yang
bergerak dibidang ini, salah satunya Amartha yang dirintis sejak 2010, disini
Lenders bisa menilik calon peminjam yang di Amartha disebut mitra di sebuah wadah marketplace, memperhitungkan mitigasi resiko dan memilih mitra mana yang ingin didanai.
Meski bukan tanpa resiko, namun peer-to-peer lending mungkin
bisa menjadi ladang baru sembari menunggu investasi perusahaan perseroan
terbatas membaik.
Background Amartha yang berfokus pada pendanaan usaha mikro
kecil menengah dapat menjadi nilai plus untuk perusahaan ini, selain membangun
ekonomi dari bawah, pemberdayaan UMKM juga secara stimulan akan berdampak pada
ekonomi nasional.
Resiko ? tentu ada, minum saja bisa beresiko tersedak, kan ?
namun dengan analisa yang tepat, hasil dari investasi P2P ini barangkali bisa
menjadi sebuah alternatif lain dalam ber investasi pasca pandemi COVID-19.
.
Jono mengernyitkan dahi, berkompromi dengan istrinya yang
ikut dalam sosialisasi, sedetik kemudian ia bangkit dan menuju Ramandha,
“mas, lebokno aku karo bojoku neng nggonmu, tak bukti’no aku
layak dititipi inpestor, aku arep gawe usaha pakan manuk ! sesuk sambi diajari
ngolah duit yo…” – ucap Jono
(“mas, masukin aku sama istriku ditempatmu, aku buktikan aku
layak didanai investor, aku mau buka usaha pakan burung ! besok aku dibimbing
juga mengolah keuangan ya…)
“literasi keuangan pak ? baik, ayo maju bareng-bareng !”
Sah- lah Jono dan istri selangkah maju menjadi seorang Pejuang Kesejahteraan Desa.