Social Icons

Pages

Minggu, 17 November 2013

Mertuaku Pahlawanku.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa para mertua presidennya.

Tiba-tiba ungkapan di atas terlintas di pikiran saya begitu mendengar kabar bahwa Presiden SBY telah menyetujui Sarwo Edhie Wibowo sebagai pahlawan nasional. Kabar itu saya baca pertama kali dari pernyataan Pramono Edhie (putra Sarwo Edhie, adik Ani Yudhoyono, ipar Presiden SBY, paman Ibas Yudhoyono sekaligus salah satu kandidat capres Partai Demokrat).

Pada November 2013 ini, pemerintahan SBY sebenarnya sudah menetapkan tiga nama baru sebagai pahlawan nasional yaitu KRMT Radjiman Wedyodiningrat, LN Palar, dan TB Simatupang. Itulah kenapa Pramono Edhie menyatakan bahwa ayahnya akan secara resmi ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 2014 nanti.

Di sinilah menariknya pernyataan Pramono Edhie (semoga Anda pernah melihat wajahnya atau minimal pernah mendengar namanya). Tidak cukup lazim – setidaknya pasca-reformasi – nama yang akan ditetapkan sebagai pahlawan nasional sudah diumumkan atau disetujui oleh presiden setahun sebelumnya.

Paling banter biasanya Kementerian Sosial (sebagai penanggungjawab urusan kepahlawan dan bintang jasa) hanya mengusulkan beberapa nama kepada presiden. Siapa yang akhirnya disetujui presiden sebagai pahlawan nasional biasanya baru akan diumumkan menjelang atau di sekitar bulan November.

Sepengetahun saya, sejak reformasi 1998, penetapan pahlawan nasional biasanya diumumkan sekaligus ditetapkan melalui SK Presiden pada bulan November, menjelang peringatan Hari Pahlawan. Dan pada November 2014 nanti, sudah pasti Indonesia sudah memiliki presiden yang baru. SBY sudah meletakkan jabatannya pada bulan Oktober 2013.

Sebelum pergantian presiden dilakukan secara resmi, beberapa waktu sebelumnya KPU biasanya sudah mengumumkan siapa pemenang pilpres. Maka sudah sepatutnya jika di masa-masa transisi seperti itu, presiden yang sebentar lagi akan lengser tidak mengambil keputusan-keputusan yang efeknya akan melekat sampai jauh di kemudian hari.

SBY pernah menolak praktik macam itu. Tak lama setelah SBY dinyatakan sebagai pemenang pilpres 2004, Presiden Megawati malah mengajukan nama Ryamizard Ryacudu sebagai Panglima TNI kepada DPR. Begitu dilantik sebagai presiden pada Oktober 2004, SBY menganulir pengajuan Ryamizard itu dan membiarkan Endriartono Sutarto tetap sebagai Panglima TNI sampai 2006.

Di luar itu semua, isu kepahlawanan nasional sosok Sarwo Edhie ini lagi-lagi menyodorkan ironi terbesar wacana kepahlawanan nasional di Indonesia: alih-alih untuk merayakan semangat nasiionalisme, kepahlawanan kerap kali justru dirayakan dalam semangat provinsial.

Prosedur seseorang menjadi pahlawan nasional itu harus dimulai dari usulan masyarakat. Dalam banyak kasus, seringkali usulan itu datang dari daerah asal si-calon-pahlawan. Bukan sekali dua jika usul itu diakselerasi oleh keluarga si-calon-pahlawan itu sendiri. Jika keluarga si-calon-pahlawan itu kebetulan punya posisi penting dalam konstelasi kekuasaan, maka prosesnya akan jadi lebih mudah lagi.

Dalam feature tentang Augustine Sibarani (pelukis wajah Sisingamangaraja XII) yang ditulis untuk Majalah Pantau, Eka Kurniawan menuliskan tuturan Sibarani soal bagaimana Sisingamangaraja XII akhirnya menjadi pahlawan nasional.

Desakan untuk menahbiskan Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional itu datang dari orang-orang Batak yang merasa kenapa tidak ada pahlawan nasional dari Batak. Sebagaimana orang Aceh punya Tjoet Njak Dhien, orang Jawa punya Diponegoro, atau orang Maluku punya Kapiten Patimura. Orang Batak mengusulkan pada Presiden Soekarno agar mengesahkan Sisingamangaraja sebagai pahlawan nasional.

Alih-alih soal nasionalisme yang melampaui batas-batas kedaerahan dan provinsial, kepahlawanan justru kerap dimulai dari semangat provinsial.
Jangan heran sebelum Bung Tomo ditetapkan sebagai pahlawan nasional, maka suara yang paling kencang mengutarakan kekecewaan dari Jawa Timur. Tak heran juga jika kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol mulai digugat karena dianggap melakukan pembantaian di tanah Batak. Begitu juga kepahlawanan Anak Agung Gde Agung dari Gianyar yang dalam beberapa versi justru dianggap pernah menentang laskar-laskar pejuang kemerdekaan di Bali saat itu.

Kontroversi Sarwo Edhie sebagai pahlawan nasional juga muncul dari isu yang kurang lebih sama. Dia dianggap bertanggungjawab terhadap pembantaian ratusan ribu sampai jutaan orang yang diduga terlibat PKI. Sarwo Edhie sendiri menyebutkan angka 3 juta dan sampai wafatnya tidak pernah meralat angka itu.

Di Indonesia, membantai orang-orang yang diduga PKI umumnya tidak dianggap sebagai dosa. Malah dianggap sebagai tindakan kepahlawanan.

Argumentasinya sederhana saja. Karena PKI dianggap kejam, maka bertindak kejam pada PKI jadi hal yang benar. Karena PKI dianggap tidak beragama, maka orang beragama boleh saja membunuhnya. Karena PKI dianggap membantai, maka balas membantai jadi hal yang wajar-wajar saja. Karena Gerwani dianggap pesta seks di Lubang Buaya, maka memperkosa Gerwani pun jadi tindakan lumrah.

Bahwa orang-orang yang dibantai itu tidak pernah diadili terlebih dulu, bahwa banyak dari mereka itu sebenarnya tidak bersalah karena memang tidak pernah dibuktikan salah benarnya lewat pengadilan, bahwa orang-orang itu dalam keadaan tidak berdaya ketika dibunuh, sama sekali tidak jadi pertimbangan. B

Bahwa dengan melakukan itu maka para pembantai tersebut justru mempraktikkan tuduhan yang mereka arahkan pada orang-orang PKI dan yang diduga PKI, itu bukan persoalan besar.

PKI itu halal darahnya adalah Pasal Pertama. Kalau ada yang mempersoalkan dan menggugat, harap baca lagi Pasal Pertama itu. Kalau masih juga ada gugatan, bolehlah dibuat Pasal Kedua: mertua selalu benar. Kalau masih ada yang menggugat, izinkan yang bersangkutan konsultasi dulu dengan istrinya.

Di situlah memang persoalannya. Dalam hal Sarwo Edhie, diskursusnya jadi lebih cihuy karena terjadi saat anaknya jadi kandidat capres dari partai yang berkuasa, anaknya jadi Ibu Negara, cucunya jadi Sekjen Partai yang berkuasa, dan menantunya juga jadi presiden.

Rasanya amat tak menarik jika kepahlawanan seseorang ditahbiskan status formal kepahlawanannya oleh penguasa yang kebetulan adalah kerabatnya.

Pemimpin yang arif sepatutnya menghindari memberi keistimewaan pada kerabatnya sendiri, bahkan walaupun kerabatnya itu dianggap patut menerima keistimewaan sekali pun.

Cukuplah Soeharto saja yang dengan kalemnya menetapkan istrinya sendiri, Ibu Tien, sebagai pahlawan nasional tak lama setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Saya jadi ingat sebuah peribahasa: jika guru kencing berdiri, maka murid juga akan ikut-ikutan kencing  semaunya.

Sebagai seorang menantu, saya juga tahu pentingnya menghormati mertua. Kalau tidak, wah… bisa terjadi kemelut keluarga, bung!

PS. Tulisan dimuat di Newsroom Yahoo, Jum'at 15 November 2013
oleh : Zen RS
http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/mertuaku-pahlawanku-104354565.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates