Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa para mertua presidennya.
Tiba-tiba
ungkapan di atas terlintas di pikiran saya begitu mendengar kabar bahwa
Presiden SBY telah menyetujui Sarwo Edhie Wibowo sebagai pahlawan
nasional. Kabar itu saya baca pertama kali dari pernyataan Pramono Edhie
(putra Sarwo Edhie, adik Ani Yudhoyono, ipar Presiden SBY, paman Ibas
Yudhoyono sekaligus salah satu kandidat capres Partai Demokrat).
Pada
November 2013 ini, pemerintahan SBY sebenarnya sudah menetapkan tiga
nama baru sebagai pahlawan nasional yaitu KRMT Radjiman Wedyodiningrat,
LN Palar, dan TB Simatupang. Itulah kenapa Pramono Edhie menyatakan
bahwa ayahnya akan secara resmi ditetapkan sebagai pahlawan nasional
pada 2014 nanti.
Di sinilah menariknya pernyataan Pramono Edhie
(semoga Anda pernah melihat wajahnya atau minimal pernah mendengar
namanya). Tidak cukup lazim – setidaknya pasca-reformasi – nama yang
akan ditetapkan sebagai pahlawan nasional sudah diumumkan atau disetujui
oleh presiden setahun sebelumnya.
Paling banter biasanya
Kementerian Sosial (sebagai penanggungjawab urusan kepahlawan dan
bintang jasa) hanya mengusulkan beberapa nama kepada presiden. Siapa
yang akhirnya disetujui presiden sebagai pahlawan nasional biasanya baru
akan diumumkan menjelang atau di sekitar bulan November.
Sepengetahun
saya, sejak reformasi 1998, penetapan pahlawan nasional biasanya
diumumkan sekaligus ditetapkan melalui SK Presiden pada bulan November,
menjelang peringatan Hari Pahlawan. Dan pada November 2014 nanti, sudah
pasti Indonesia sudah memiliki presiden yang baru. SBY sudah meletakkan
jabatannya pada bulan Oktober 2013.
Sebelum pergantian presiden
dilakukan secara resmi, beberapa waktu sebelumnya KPU biasanya sudah
mengumumkan siapa pemenang pilpres. Maka sudah sepatutnya jika di
masa-masa transisi seperti itu, presiden yang sebentar lagi akan lengser
tidak mengambil keputusan-keputusan yang efeknya akan melekat sampai
jauh di kemudian hari.
SBY pernah menolak praktik macam itu. Tak
lama setelah SBY dinyatakan sebagai pemenang pilpres 2004, Presiden
Megawati malah mengajukan nama Ryamizard Ryacudu sebagai Panglima TNI
kepada DPR. Begitu dilantik sebagai presiden pada Oktober 2004, SBY
menganulir pengajuan Ryamizard itu dan membiarkan Endriartono Sutarto
tetap sebagai Panglima TNI sampai 2006.
Di luar itu semua, isu
kepahlawanan nasional sosok Sarwo Edhie ini lagi-lagi menyodorkan ironi
terbesar wacana kepahlawanan nasional di Indonesia: alih-alih untuk
merayakan semangat nasiionalisme, kepahlawanan kerap kali justru
dirayakan dalam semangat provinsial.
Prosedur seseorang menjadi
pahlawan nasional itu harus dimulai dari usulan masyarakat. Dalam banyak
kasus, seringkali usulan itu datang dari daerah asal si-calon-pahlawan.
Bukan sekali dua jika usul itu diakselerasi oleh keluarga
si-calon-pahlawan itu sendiri. Jika keluarga si-calon-pahlawan itu
kebetulan punya posisi penting dalam konstelasi kekuasaan, maka
prosesnya akan jadi lebih mudah lagi.
Dalam feature tentang
Augustine Sibarani (pelukis wajah Sisingamangaraja XII) yang ditulis
untuk Majalah Pantau, Eka Kurniawan menuliskan tuturan Sibarani soal
bagaimana Sisingamangaraja XII akhirnya menjadi pahlawan nasional.
Desakan
untuk menahbiskan Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional itu
datang dari orang-orang Batak yang merasa kenapa tidak ada pahlawan
nasional dari Batak. Sebagaimana orang Aceh punya Tjoet Njak Dhien,
orang Jawa punya Diponegoro, atau orang Maluku punya Kapiten Patimura.
Orang Batak mengusulkan pada Presiden Soekarno agar mengesahkan
Sisingamangaraja sebagai pahlawan nasional.
Alih-alih soal
nasionalisme yang melampaui batas-batas kedaerahan dan provinsial,
kepahlawanan justru kerap dimulai dari semangat provinsial.
Jangan
heran sebelum Bung Tomo ditetapkan sebagai pahlawan nasional, maka suara
yang paling kencang mengutarakan kekecewaan dari Jawa Timur. Tak heran
juga jika kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol mulai digugat karena dianggap
melakukan pembantaian di tanah Batak. Begitu juga kepahlawanan Anak
Agung Gde Agung dari Gianyar yang dalam beberapa versi justru dianggap
pernah menentang laskar-laskar pejuang kemerdekaan di Bali saat itu.
Kontroversi
Sarwo Edhie sebagai pahlawan nasional juga muncul dari isu yang kurang
lebih sama. Dia dianggap bertanggungjawab terhadap pembantaian ratusan
ribu sampai jutaan orang yang diduga terlibat PKI. Sarwo Edhie sendiri
menyebutkan angka 3 juta dan sampai wafatnya tidak pernah meralat angka
itu.
Di Indonesia, membantai orang-orang yang diduga PKI umumnya
tidak dianggap sebagai dosa. Malah dianggap sebagai tindakan
kepahlawanan.
Argumentasinya sederhana saja. Karena PKI dianggap
kejam, maka bertindak kejam pada PKI jadi hal yang benar. Karena PKI
dianggap tidak beragama, maka orang beragama boleh saja membunuhnya.
Karena PKI dianggap membantai, maka balas membantai jadi hal yang
wajar-wajar saja. Karena Gerwani dianggap pesta seks di Lubang Buaya,
maka memperkosa Gerwani pun jadi tindakan lumrah.
Bahwa
orang-orang yang dibantai itu tidak pernah diadili terlebih dulu, bahwa
banyak dari mereka itu sebenarnya tidak bersalah karena memang tidak
pernah dibuktikan salah benarnya lewat pengadilan, bahwa orang-orang itu
dalam keadaan tidak berdaya ketika dibunuh, sama sekali tidak jadi
pertimbangan. B
Bahwa dengan melakukan itu maka para pembantai
tersebut justru mempraktikkan tuduhan yang mereka arahkan pada
orang-orang PKI dan yang diduga PKI, itu bukan persoalan besar.
PKI
itu halal darahnya adalah Pasal Pertama. Kalau ada yang mempersoalkan
dan menggugat, harap baca lagi Pasal Pertama itu. Kalau masih juga ada
gugatan, bolehlah dibuat Pasal Kedua: mertua selalu benar. Kalau masih
ada yang menggugat, izinkan yang bersangkutan konsultasi dulu dengan
istrinya.
Di situlah memang persoalannya. Dalam hal Sarwo Edhie,
diskursusnya jadi lebih cihuy karena terjadi saat anaknya jadi kandidat
capres dari partai yang berkuasa, anaknya jadi Ibu Negara, cucunya jadi
Sekjen Partai yang berkuasa, dan menantunya juga jadi presiden.
Rasanya
amat tak menarik jika kepahlawanan seseorang ditahbiskan status formal
kepahlawanannya oleh penguasa yang kebetulan adalah kerabatnya.
Pemimpin
yang arif sepatutnya menghindari memberi keistimewaan pada kerabatnya
sendiri, bahkan walaupun kerabatnya itu dianggap patut menerima
keistimewaan sekali pun.
Cukuplah Soeharto saja yang dengan
kalemnya menetapkan istrinya sendiri, Ibu Tien, sebagai pahlawan
nasional tak lama setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Saya jadi
ingat sebuah peribahasa: jika guru kencing berdiri, maka murid juga akan
ikut-ikutan kencing semaunya.
Sebagai seorang menantu, saya juga tahu pentingnya menghormati mertua. Kalau tidak, wah… bisa terjadi kemelut keluarga, bung!
PS. Tulisan dimuat di Newsroom Yahoo, Jum'at 15 November 2013
oleh : Zen RS
http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/mertuaku-pahlawanku-104354565.html
Minggu, 17 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar