Social Icons

Pages

Jumat, 15 November 2013

Gunung Lawu. Tiap Perjalanan, Tak akan Ada yang Sia-Sia


Dataran tinggi selalu lebih menarik dari tepian pantai dan tiap pendakian tak akan ada yang sia-sia - begitu kira kira inti dari percakapanku dengan Muhammad Rizky, sahabat mendakiku yang kesehariannya terkesan pendiam namun sekalinya bicara langsung jebret seperti geledek disiang bolong.



24 Agustus 2013

Jika tak salah, hari itu adalah salah satu hari bersejarah bagiku, bagaimana seorang Resi Aryo yang kurus kering dan tak tahan dingin mencoba menaklukan Gunung Lawu, timbunan tanah setinggi 3.265 mdpl yang menjulang diantara perbatasan Jawa Tengah hingga Jawa Timur.

Sabtu pagi usai menunaikan kewajiban sebagai kacung sebuah instansi di Kabupaten Sleman, aku bergegas ketitik pertemuan "Fafifu Adventure" generasi pertama. Mereka adalah dua orang yang memperkenalkan padaku keindahan tak terperi Indonesia dari dataran tinggi, sebelumnya aku hanya seorang pemuda yang lebih sering menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan atau paling banter pantai diseputaran Yogyakarta.

Aditya Kuswanto, dan Muh Rizky. Ya, kami hanya bertiga dan kami semua adalah pemula yang sebelumnya hanya pernah mendaki puncak Sikunir di Wonosobo sana, sama sekali tak sebanding dengan perjalanan beratku kali ini, pendakian yang sebenarnya bagiku.

Rencana berangkat pukul 07.00 terpaksa mundur hingga jam 09.00 karena kebiasaan trah Melayu yang terkenal sering ngaret, berangkat dari titik pertemuan didaerah Prambanan, kami berangkat sesegera mungkin agar tak terlalu sore sampai di Cemoro Sewu, basecamp pendakian didaerah Karang Anyar, Jawa Tengah.

Sekitar pukul 11.00 kami telah sampai di Cemoro Sewu, setelah mengisi perut dan merapikan carrier kami akhirnya menginjakan langkah kecil kami dibelantara Lawu pukul 12.00 tepat. Kami memakan waktu hingga 2 jam untuk sampai dipos pertama, yang membuat aku terheran-heran ternyata kami belum benar-benar terasing karena pada pos pertama kami masih menemui sebuah gubuk warung kecil yang menyediakan berbagai hidangan sederhana. Disana kami sempat berhenti hingga satu jam lamanya.

Sadar diri bahwa ini belum apa-apa kami segera bergegas melanjutkan perjalanan, perlu waktu 1 jam untuk sampai dipos 2, setelah rehat beberapa saat kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju pos 3.

Kami sampai dipos 3 sekitar pukul 5 sore kurang, karena kelelahan kami mengambil break dan membuat api kecil sembari membuat kopi untuk menghangatkan badan karena memang cuaca sudah mulai dingin dan agak gelap. 16 derajat celcius jika aku tak salah dengar rombongan sebelah kami bilang.

Tiba-tiba saja sekitar pukul 17.30 badanku menggigil, celanaku seperti kaku karena dingin, dan sama sekali tak merasakan ujung jariku, aku kedinginan hebat sementara Adit dan Kiki masih sibuk membuat kopi.

Suhu turun drastis hingga 6 derajat celcius, aku merengek seperti anak kecil agar membuka tenda dan bermalam disini atau jika tidak kita turun saja, aku hampir menyerah. Seperti ini kah hypothermia yang sering ku dengar lewat salah satu lagunya Gita Gutawa ? mengerikan, sakit hingga ke tulang.

Disaat itulah Kiki tiba-tiba menjadi seperti sosok komandan dalam perang, "kalau buka tenda dan terlalu lama disini, yang kita dapat cuma tambah dingin, ayo cepet bergerak naik !".

Aku menuruti perkataannya dan benar saja, saat cuaca dingin seperti ini, langkahku menjadi semakin enteng, bahkan karena gelap kami tak sadar telah melewati pos 4, saat mendaki aku sempat melihat kebawah dan baru sadar "pantas saja dipos 3 angin terasa begitu mengigit, pos 3 dibangun dibibir gunung dan minim perlindungan pohon untuk menutupi terpaan angin gunung" ujarku dalam hati.

Kurang lebih pukul 19.00 kami sampai dipersimpangan pos 5 kemudian mengambil jalur kanan untuk sampai di Sendang Drajat, sebuah mata air yang menjadi titik berkumpul dan mendirikan tenda sebelum esok harinya mendaki kembali untuk sampai kepuncak.

Tak lama setelah kami mengambil jalur kanan, ada sekelompok pendaki yang keliru mengambil jalur pendakian, mereka berteriak-teriak meminta kami menunggu mereka, kami terpaksa turun untuk memberi suar petunjuk agar mereka tak kembali tersasar. Sekitar setengah jam kemudian kami bertatap muka dengan mereka, mereka berasal dari daerah Sragen dan aku sempat kagum sekaligus prihatin, mereka mendaki hanya dengan sendal jepit tanpa kaos kaki, bercelana pendek, ada pula yang memakai celana jeans model pensil, aku yang mendaki dengan perlengkapan lengkap seperti kaos kaki, sepatu, dan jaket saja hampir mati kedinginan, bagaimana mereka bisa bertahan...kalo aku dengan persiapan seperti mereka pasti sudah memilih turun dan ngopi saja di Cemoro Sewu.

Singkat caerita kami telah sampai di titik membuat tenda, aku kembali terheran-heran ternyata disana ada sebuah warung, Warung Mbok Yem jika tak salah sebut, sebuah gubuk yang memang sudah kondang bagi para pendaki yang pernah ke Lawu, aku sudah sering membaca tentang warung ini, namun tetap saja aku terheran-heran.

Sengaja kami mendirikan tenda diantara ranting ranting agar sedikit terhindar dari terpaan angin, namun tetap saja istirahat kami tak senyaman dirumah. pffft...

Pagi menjelang, pukul 06.00 kami terbangun namun masih terlalu malas untuk keluar tenda meski kami sadar sudah melewatkan moment yang kami kejar sedari berangkat kemarin, sunrise Gunung Lawu. Kami sendiri naik ke puncak setelah menunggu cuaca menghangat, sak madyo nya kalo kata Kiki.

30 menit berjalan kami telah sampai dipuncak tertinggi Gunung Lawu, Hargo Dumilah, dan ternyata masih banyak sisa bendera merah putih disana, bendera sisa upacara kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus kemarin yang membuat puncak ini lebih berwarna.




Ada 2 hal yang ingin kami lakukan dipuncak ini, setelah gagal dengan keinginan yang pertama yaitu sunrise, kami melaksanakan keinginan kami yang kedua...ngopi dan membuat api unggun dipuncak gunung, mbois sekali keinginan kami.

Membunuh waktu, sembari bercanda, minum kopi ataupun teh gula batu, dan makan bekal dipuncak, jika ada yang sering mengumpat "Hidup adalah sebuah kutukan", pastilah mereka belum pernah menemukan moment seperti kami.


life is wonderful my bro, sometimes...


Setelah selesai bercumbu dengan puncak Lawu kami bergegas turun setelah sebelumnya mampir makan dulu di warung Mbok Yem, dan teh dekok diwarung beliau belum ada yang mengalahkan kenikmatannya hingga sekarang, hmm.

Perjalanan turun kami tak terlalu menyiksa seperti sewaktu mendaki, kami turun gunung dengan diiringi pemandangan luar biasa, dari jaalur kami Telaga Sarangan begitu jelas, begitupun di pos 4 ada tebing batu kapur yang ternyata semalam luput dari pandangan kami.

Sampai pos 3, pos yang paling menyakitkan bagiku, Kiki baru buka suara "Dulu, dipos ini ada sebuah papan yang bertuliskan -JALUR PENYESALAN- karena beberapa pendaki memang melihat jalur ini lebih menanjak dan sulit daripada jalur Cemoro Kandang"
- KAMPREEEET ! - , kenapa kemarin nggak lewat Cemoro Kandang ! kataku
- Loh kita kan adventurer bang, kita cari jalur yang berat-berat biar keren - timpal Rizky

Telaga Sarangan, tampak jelas dari ketinggian


Ternyata tak hanya di Gunung Lawu, nanti di Merbabu, kami pun kembali melewati jalur penyesalan sekali lagi...

Diperjalanan turun, Adit benar-benar merindukan es teh diwarung Pos 1, dia diam saja sedari pos 4 dan fokus pada es teh dan gorengan yang dijual diwarung dekat di Pos 1.

Pos 2 kami lewati tanpa terasa, sampai diturunan menjelang Pos 1 Adit menginjak pedal gasnya lebih dalam, kerinduannya pada es teh dan gorengan mengalahkan segalanya.

Adit yang lebih dulu sampai di Pos 1 kami temui tergolek lemas disebrang jalan, matanya merah hampir menangis sembari berkata..."Warungnya tutup, broo".
Menyedihkan.

Adit benar-benar dikhianati habis-habisan oleh nasib.

Selanjutnya ? Adit kembali tak nampak didepanku, ia sudah jauh didepan kami, rasa kesalnya pada penjual es teh di Pos 1 menutup cerita perjalanan perdana kami di Gunung Lawu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates