Social Icons

Pages

Minggu, 17 November 2013

Mertuaku Pahlawanku.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa para mertua presidennya.

Tiba-tiba ungkapan di atas terlintas di pikiran saya begitu mendengar kabar bahwa Presiden SBY telah menyetujui Sarwo Edhie Wibowo sebagai pahlawan nasional. Kabar itu saya baca pertama kali dari pernyataan Pramono Edhie (putra Sarwo Edhie, adik Ani Yudhoyono, ipar Presiden SBY, paman Ibas Yudhoyono sekaligus salah satu kandidat capres Partai Demokrat).

Pada November 2013 ini, pemerintahan SBY sebenarnya sudah menetapkan tiga nama baru sebagai pahlawan nasional yaitu KRMT Radjiman Wedyodiningrat, LN Palar, dan TB Simatupang. Itulah kenapa Pramono Edhie menyatakan bahwa ayahnya akan secara resmi ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 2014 nanti.

Di sinilah menariknya pernyataan Pramono Edhie (semoga Anda pernah melihat wajahnya atau minimal pernah mendengar namanya). Tidak cukup lazim – setidaknya pasca-reformasi – nama yang akan ditetapkan sebagai pahlawan nasional sudah diumumkan atau disetujui oleh presiden setahun sebelumnya.

Paling banter biasanya Kementerian Sosial (sebagai penanggungjawab urusan kepahlawan dan bintang jasa) hanya mengusulkan beberapa nama kepada presiden. Siapa yang akhirnya disetujui presiden sebagai pahlawan nasional biasanya baru akan diumumkan menjelang atau di sekitar bulan November.

Sepengetahun saya, sejak reformasi 1998, penetapan pahlawan nasional biasanya diumumkan sekaligus ditetapkan melalui SK Presiden pada bulan November, menjelang peringatan Hari Pahlawan. Dan pada November 2014 nanti, sudah pasti Indonesia sudah memiliki presiden yang baru. SBY sudah meletakkan jabatannya pada bulan Oktober 2013.

Sebelum pergantian presiden dilakukan secara resmi, beberapa waktu sebelumnya KPU biasanya sudah mengumumkan siapa pemenang pilpres. Maka sudah sepatutnya jika di masa-masa transisi seperti itu, presiden yang sebentar lagi akan lengser tidak mengambil keputusan-keputusan yang efeknya akan melekat sampai jauh di kemudian hari.

SBY pernah menolak praktik macam itu. Tak lama setelah SBY dinyatakan sebagai pemenang pilpres 2004, Presiden Megawati malah mengajukan nama Ryamizard Ryacudu sebagai Panglima TNI kepada DPR. Begitu dilantik sebagai presiden pada Oktober 2004, SBY menganulir pengajuan Ryamizard itu dan membiarkan Endriartono Sutarto tetap sebagai Panglima TNI sampai 2006.

Di luar itu semua, isu kepahlawanan nasional sosok Sarwo Edhie ini lagi-lagi menyodorkan ironi terbesar wacana kepahlawanan nasional di Indonesia: alih-alih untuk merayakan semangat nasiionalisme, kepahlawanan kerap kali justru dirayakan dalam semangat provinsial.

Prosedur seseorang menjadi pahlawan nasional itu harus dimulai dari usulan masyarakat. Dalam banyak kasus, seringkali usulan itu datang dari daerah asal si-calon-pahlawan. Bukan sekali dua jika usul itu diakselerasi oleh keluarga si-calon-pahlawan itu sendiri. Jika keluarga si-calon-pahlawan itu kebetulan punya posisi penting dalam konstelasi kekuasaan, maka prosesnya akan jadi lebih mudah lagi.

Dalam feature tentang Augustine Sibarani (pelukis wajah Sisingamangaraja XII) yang ditulis untuk Majalah Pantau, Eka Kurniawan menuliskan tuturan Sibarani soal bagaimana Sisingamangaraja XII akhirnya menjadi pahlawan nasional.

Desakan untuk menahbiskan Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional itu datang dari orang-orang Batak yang merasa kenapa tidak ada pahlawan nasional dari Batak. Sebagaimana orang Aceh punya Tjoet Njak Dhien, orang Jawa punya Diponegoro, atau orang Maluku punya Kapiten Patimura. Orang Batak mengusulkan pada Presiden Soekarno agar mengesahkan Sisingamangaraja sebagai pahlawan nasional.

Alih-alih soal nasionalisme yang melampaui batas-batas kedaerahan dan provinsial, kepahlawanan justru kerap dimulai dari semangat provinsial.
Jangan heran sebelum Bung Tomo ditetapkan sebagai pahlawan nasional, maka suara yang paling kencang mengutarakan kekecewaan dari Jawa Timur. Tak heran juga jika kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol mulai digugat karena dianggap melakukan pembantaian di tanah Batak. Begitu juga kepahlawanan Anak Agung Gde Agung dari Gianyar yang dalam beberapa versi justru dianggap pernah menentang laskar-laskar pejuang kemerdekaan di Bali saat itu.

Kontroversi Sarwo Edhie sebagai pahlawan nasional juga muncul dari isu yang kurang lebih sama. Dia dianggap bertanggungjawab terhadap pembantaian ratusan ribu sampai jutaan orang yang diduga terlibat PKI. Sarwo Edhie sendiri menyebutkan angka 3 juta dan sampai wafatnya tidak pernah meralat angka itu.

Di Indonesia, membantai orang-orang yang diduga PKI umumnya tidak dianggap sebagai dosa. Malah dianggap sebagai tindakan kepahlawanan.

Argumentasinya sederhana saja. Karena PKI dianggap kejam, maka bertindak kejam pada PKI jadi hal yang benar. Karena PKI dianggap tidak beragama, maka orang beragama boleh saja membunuhnya. Karena PKI dianggap membantai, maka balas membantai jadi hal yang wajar-wajar saja. Karena Gerwani dianggap pesta seks di Lubang Buaya, maka memperkosa Gerwani pun jadi tindakan lumrah.

Bahwa orang-orang yang dibantai itu tidak pernah diadili terlebih dulu, bahwa banyak dari mereka itu sebenarnya tidak bersalah karena memang tidak pernah dibuktikan salah benarnya lewat pengadilan, bahwa orang-orang itu dalam keadaan tidak berdaya ketika dibunuh, sama sekali tidak jadi pertimbangan. B

Bahwa dengan melakukan itu maka para pembantai tersebut justru mempraktikkan tuduhan yang mereka arahkan pada orang-orang PKI dan yang diduga PKI, itu bukan persoalan besar.

PKI itu halal darahnya adalah Pasal Pertama. Kalau ada yang mempersoalkan dan menggugat, harap baca lagi Pasal Pertama itu. Kalau masih juga ada gugatan, bolehlah dibuat Pasal Kedua: mertua selalu benar. Kalau masih ada yang menggugat, izinkan yang bersangkutan konsultasi dulu dengan istrinya.

Di situlah memang persoalannya. Dalam hal Sarwo Edhie, diskursusnya jadi lebih cihuy karena terjadi saat anaknya jadi kandidat capres dari partai yang berkuasa, anaknya jadi Ibu Negara, cucunya jadi Sekjen Partai yang berkuasa, dan menantunya juga jadi presiden.

Rasanya amat tak menarik jika kepahlawanan seseorang ditahbiskan status formal kepahlawanannya oleh penguasa yang kebetulan adalah kerabatnya.

Pemimpin yang arif sepatutnya menghindari memberi keistimewaan pada kerabatnya sendiri, bahkan walaupun kerabatnya itu dianggap patut menerima keistimewaan sekali pun.

Cukuplah Soeharto saja yang dengan kalemnya menetapkan istrinya sendiri, Ibu Tien, sebagai pahlawan nasional tak lama setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Saya jadi ingat sebuah peribahasa: jika guru kencing berdiri, maka murid juga akan ikut-ikutan kencing  semaunya.

Sebagai seorang menantu, saya juga tahu pentingnya menghormati mertua. Kalau tidak, wah… bisa terjadi kemelut keluarga, bung!

PS. Tulisan dimuat di Newsroom Yahoo, Jum'at 15 November 2013
oleh : Zen RS
http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/mertuaku-pahlawanku-104354565.html

Jumat, 15 November 2013

Gunung Lawu. Tiap Perjalanan, Tak akan Ada yang Sia-Sia


Dataran tinggi selalu lebih menarik dari tepian pantai dan tiap pendakian tak akan ada yang sia-sia - begitu kira kira inti dari percakapanku dengan Muhammad Rizky, sahabat mendakiku yang kesehariannya terkesan pendiam namun sekalinya bicara langsung jebret seperti geledek disiang bolong.



24 Agustus 2013

Jika tak salah, hari itu adalah salah satu hari bersejarah bagiku, bagaimana seorang Resi Aryo yang kurus kering dan tak tahan dingin mencoba menaklukan Gunung Lawu, timbunan tanah setinggi 3.265 mdpl yang menjulang diantara perbatasan Jawa Tengah hingga Jawa Timur.

Sabtu pagi usai menunaikan kewajiban sebagai kacung sebuah instansi di Kabupaten Sleman, aku bergegas ketitik pertemuan "Fafifu Adventure" generasi pertama. Mereka adalah dua orang yang memperkenalkan padaku keindahan tak terperi Indonesia dari dataran tinggi, sebelumnya aku hanya seorang pemuda yang lebih sering menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan atau paling banter pantai diseputaran Yogyakarta.

Aditya Kuswanto, dan Muh Rizky. Ya, kami hanya bertiga dan kami semua adalah pemula yang sebelumnya hanya pernah mendaki puncak Sikunir di Wonosobo sana, sama sekali tak sebanding dengan perjalanan beratku kali ini, pendakian yang sebenarnya bagiku.

Rencana berangkat pukul 07.00 terpaksa mundur hingga jam 09.00 karena kebiasaan trah Melayu yang terkenal sering ngaret, berangkat dari titik pertemuan didaerah Prambanan, kami berangkat sesegera mungkin agar tak terlalu sore sampai di Cemoro Sewu, basecamp pendakian didaerah Karang Anyar, Jawa Tengah.

Sekitar pukul 11.00 kami telah sampai di Cemoro Sewu, setelah mengisi perut dan merapikan carrier kami akhirnya menginjakan langkah kecil kami dibelantara Lawu pukul 12.00 tepat. Kami memakan waktu hingga 2 jam untuk sampai dipos pertama, yang membuat aku terheran-heran ternyata kami belum benar-benar terasing karena pada pos pertama kami masih menemui sebuah gubuk warung kecil yang menyediakan berbagai hidangan sederhana. Disana kami sempat berhenti hingga satu jam lamanya.

Sadar diri bahwa ini belum apa-apa kami segera bergegas melanjutkan perjalanan, perlu waktu 1 jam untuk sampai dipos 2, setelah rehat beberapa saat kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju pos 3.

Kami sampai dipos 3 sekitar pukul 5 sore kurang, karena kelelahan kami mengambil break dan membuat api kecil sembari membuat kopi untuk menghangatkan badan karena memang cuaca sudah mulai dingin dan agak gelap. 16 derajat celcius jika aku tak salah dengar rombongan sebelah kami bilang.

Tiba-tiba saja sekitar pukul 17.30 badanku menggigil, celanaku seperti kaku karena dingin, dan sama sekali tak merasakan ujung jariku, aku kedinginan hebat sementara Adit dan Kiki masih sibuk membuat kopi.

Suhu turun drastis hingga 6 derajat celcius, aku merengek seperti anak kecil agar membuka tenda dan bermalam disini atau jika tidak kita turun saja, aku hampir menyerah. Seperti ini kah hypothermia yang sering ku dengar lewat salah satu lagunya Gita Gutawa ? mengerikan, sakit hingga ke tulang.

Disaat itulah Kiki tiba-tiba menjadi seperti sosok komandan dalam perang, "kalau buka tenda dan terlalu lama disini, yang kita dapat cuma tambah dingin, ayo cepet bergerak naik !".

Aku menuruti perkataannya dan benar saja, saat cuaca dingin seperti ini, langkahku menjadi semakin enteng, bahkan karena gelap kami tak sadar telah melewati pos 4, saat mendaki aku sempat melihat kebawah dan baru sadar "pantas saja dipos 3 angin terasa begitu mengigit, pos 3 dibangun dibibir gunung dan minim perlindungan pohon untuk menutupi terpaan angin gunung" ujarku dalam hati.

Kurang lebih pukul 19.00 kami sampai dipersimpangan pos 5 kemudian mengambil jalur kanan untuk sampai di Sendang Drajat, sebuah mata air yang menjadi titik berkumpul dan mendirikan tenda sebelum esok harinya mendaki kembali untuk sampai kepuncak.

Tak lama setelah kami mengambil jalur kanan, ada sekelompok pendaki yang keliru mengambil jalur pendakian, mereka berteriak-teriak meminta kami menunggu mereka, kami terpaksa turun untuk memberi suar petunjuk agar mereka tak kembali tersasar. Sekitar setengah jam kemudian kami bertatap muka dengan mereka, mereka berasal dari daerah Sragen dan aku sempat kagum sekaligus prihatin, mereka mendaki hanya dengan sendal jepit tanpa kaos kaki, bercelana pendek, ada pula yang memakai celana jeans model pensil, aku yang mendaki dengan perlengkapan lengkap seperti kaos kaki, sepatu, dan jaket saja hampir mati kedinginan, bagaimana mereka bisa bertahan...kalo aku dengan persiapan seperti mereka pasti sudah memilih turun dan ngopi saja di Cemoro Sewu.

Singkat caerita kami telah sampai di titik membuat tenda, aku kembali terheran-heran ternyata disana ada sebuah warung, Warung Mbok Yem jika tak salah sebut, sebuah gubuk yang memang sudah kondang bagi para pendaki yang pernah ke Lawu, aku sudah sering membaca tentang warung ini, namun tetap saja aku terheran-heran.

Sengaja kami mendirikan tenda diantara ranting ranting agar sedikit terhindar dari terpaan angin, namun tetap saja istirahat kami tak senyaman dirumah. pffft...

Pagi menjelang, pukul 06.00 kami terbangun namun masih terlalu malas untuk keluar tenda meski kami sadar sudah melewatkan moment yang kami kejar sedari berangkat kemarin, sunrise Gunung Lawu. Kami sendiri naik ke puncak setelah menunggu cuaca menghangat, sak madyo nya kalo kata Kiki.

30 menit berjalan kami telah sampai dipuncak tertinggi Gunung Lawu, Hargo Dumilah, dan ternyata masih banyak sisa bendera merah putih disana, bendera sisa upacara kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus kemarin yang membuat puncak ini lebih berwarna.




Ada 2 hal yang ingin kami lakukan dipuncak ini, setelah gagal dengan keinginan yang pertama yaitu sunrise, kami melaksanakan keinginan kami yang kedua...ngopi dan membuat api unggun dipuncak gunung, mbois sekali keinginan kami.

Membunuh waktu, sembari bercanda, minum kopi ataupun teh gula batu, dan makan bekal dipuncak, jika ada yang sering mengumpat "Hidup adalah sebuah kutukan", pastilah mereka belum pernah menemukan moment seperti kami.


life is wonderful my bro, sometimes...


Setelah selesai bercumbu dengan puncak Lawu kami bergegas turun setelah sebelumnya mampir makan dulu di warung Mbok Yem, dan teh dekok diwarung beliau belum ada yang mengalahkan kenikmatannya hingga sekarang, hmm.

Perjalanan turun kami tak terlalu menyiksa seperti sewaktu mendaki, kami turun gunung dengan diiringi pemandangan luar biasa, dari jaalur kami Telaga Sarangan begitu jelas, begitupun di pos 4 ada tebing batu kapur yang ternyata semalam luput dari pandangan kami.

Sampai pos 3, pos yang paling menyakitkan bagiku, Kiki baru buka suara "Dulu, dipos ini ada sebuah papan yang bertuliskan -JALUR PENYESALAN- karena beberapa pendaki memang melihat jalur ini lebih menanjak dan sulit daripada jalur Cemoro Kandang"
- KAMPREEEET ! - , kenapa kemarin nggak lewat Cemoro Kandang ! kataku
- Loh kita kan adventurer bang, kita cari jalur yang berat-berat biar keren - timpal Rizky

Telaga Sarangan, tampak jelas dari ketinggian


Ternyata tak hanya di Gunung Lawu, nanti di Merbabu, kami pun kembali melewati jalur penyesalan sekali lagi...

Diperjalanan turun, Adit benar-benar merindukan es teh diwarung Pos 1, dia diam saja sedari pos 4 dan fokus pada es teh dan gorengan yang dijual diwarung dekat di Pos 1.

Pos 2 kami lewati tanpa terasa, sampai diturunan menjelang Pos 1 Adit menginjak pedal gasnya lebih dalam, kerinduannya pada es teh dan gorengan mengalahkan segalanya.

Adit yang lebih dulu sampai di Pos 1 kami temui tergolek lemas disebrang jalan, matanya merah hampir menangis sembari berkata..."Warungnya tutup, broo".
Menyedihkan.

Adit benar-benar dikhianati habis-habisan oleh nasib.

Selanjutnya ? Adit kembali tak nampak didepanku, ia sudah jauh didepan kami, rasa kesalnya pada penjual es teh di Pos 1 menutup cerita perjalanan perdana kami di Gunung Lawu.

Senin, 11 November 2013

PSS Sleman, Dan Awal Sebuah Perjalanan Besar.


Namaku Resi Aryo, bocah yang berdomisili disekat batas Jogjakarta dan Jawa Tengah.

Diperkenalkan dengan sebuah klub (yang dulu aku anggap) medioker, PSS Sleman.
Jangan salahkan aku dengan pandanganku tentang tim ini, karena waktu itu aku memang lebih sering membaca dan berkenalan dengan tabloid olahraga yang mendongeng tentang liga eropa.

Entah ditahun berapa, kala PSS masih menggunakan Tridadi sebagai homebase mereka, chants berbau rasis dan kadang melenceng dari niat awal yakni mendukung klub dari tribun, yang keluar justru chant "bakule tempe wooo, woo uu wooo uu wooo" dengan mengunakan nada dari salah satu lagu Gigi band. Ada juga cerita lucu sewaktu pertandingan tengah berlangsung karena cuaca panas, suporter Sleman yang waktu itu begitu banyak memiliki laskar namun kebanyakan tetap sewarna, mereka berteriak meminta air sepanjang pertandingan, and then benar saja ada kendaraan pemadam kebakaran yang mengemprotkan air dari luar stadion Tridadi, funniest day ever.

Suasana berubah drastis dipertengahan tahun 2000, dimana kondisi PSS semakin memburuk, sementara Persiba Bantul dan PSIM Yogyakarta makin hari makin digdaya dimasing masing kompetisi, kala itu aku bahkan tak tau apa liga yang diikuti PSS Sleman. Teman-temanku yang biasa berangkat bersama-sama ke Tridadi makin hari makin sedikit, mobil pick up yang biasa kami tumpangi tak lagi mau mengantar kami melihat Francis Wollo berlaga karena tau kami cuma sekumpulan bocah ingusan yang bahkan tak sanggup membelikan bensin, situasi chemistry ku dengan PSS makin buruk setelah Persiba mengukuhkan diri sebagai juara Liga. Tak ada lagi teman sekampung yang mau aku ajak ke Tridadi, sama sekali tak ada, dari mereka kebanyakan menyebrang ke klub tetangga dan balik mencibir aku dan PSS Sleman-ku.

Kawan, perasaan ini sama seperti engkau disliding temanmu sendiri ketika kau tengah mengejar cinta.

Alhasil, aku sendirian berangkat ke stadion berbekal kenekatan membawa motor Ibuku meski tau sepulang stadion aku akan dimarahi habis-habisan. Seiring waktu aku berkejnalawwnjeen dengan Divta Janumarta, seorang punggawa Laskar Pangeran Puger, yang kemudian sudi menemaniku awaydays kebeberapa kota.

Aku bukannya santo suci yang tak pernah tergoda, beberapa kali aku tergiur melihat PSIM berlaga, da taukah kawan ? bukan atmosfer rumah yang aku rasakan. PSS, Tridadi dan Maguwoharjo lah yang menawarkan perasaan seperti dirumah untukku.

Carut marut liga makin menjadi setelah Nurdin Halid turun kasta sebagai Ketum PSSI, terjadi dualisme seperti yang kalian lihat beberapa tahun kebelakang.
Saat krisis kepercayaan pada PSS dan liganya, aku bertemu dengan Aditya Kuswanto, Ananto Dwi Nugroho, orang orang hebat yang membawa kembali euforia cinta pada klub yang kini aku anggap sejajar dengan Manchester United dihatiku, sementara Divta sudah jauh maju kedepan dengan Ultras 1976 nya yang membawa gebrakan gebrakan baru untuk PSS Sleman.

LPIS-lah, badan liga yang kemudian diikuti PSS
PSS ditempatkan di Divisi Utama LPIS, liga yang entah terkadang disebut liga haram oleh beberapa kalangan toh tak menyurutkan semangat suporter Sleman yang makin hari makin besar, teman-temanku yang dulu berpaling ? beberapa dari mereka kembali ke tribun Maguwoharjo, beberapa lagi sudah enggan menonton sepakbola di stadion.

Aku pun menjadi saksi laga-laga krusial bagi PSS, menjamu Persis Solo di Maguwoharjo, melawat ke Nganjuk untuk penentuan puncak klasemen, pun tak luput ketika harus bertaruh keselamatan ketika menyusup ke Manahan Solo ketika situasi kedua kubu sedang panas-panasnya. Satu perasaan yang hampir membuat aku menangis ketika pemain kebanggaanku dilempari air seni, batu, dan nyanyian berbau rasial, rasanya sama seperti saat aku putus dengan mantanku sebelumnya, perih tak terperi.

Meski laga itu kemudian dianulir, luka terlanjur mengangga, dan aku anggap Mahanan adalah mimpi buruk dalam konotasi sebenarnya.

Liga terus bergulir dan PSS menyentuh semifinal dengan status juara grup dan berhak menghadapi Persitara Jakarta Utara.
Suasana stadion begitu riuh ketika PSS menjamu Persitara, bahkan kami harus datang ke stadion pukul 16.00 ketika pertandingan sendiri baru dimulai jam 19.00 hanya untuk me dapat tempat duduk dengan view sempurna.

Perbedaan terlihat jelas pada pertandingan kali ini, meski ditinggal Juan Revi yang dipanggil Timnas, namun kolektifitas dan kejelian sayap PSS Sleman cukup membuat Persitara kerepotan, skor 3-0 yang dicetak Agung Suprayogi, Anang Hadi dan Monieaga.
PSS meluncur mulus ke final, pun perasaanku yang masih tak percaya, ini semifinal, dan esok final. Dan 3-0 seperti terlalu mudah untuk kami.


Minggu, 10 November 2013

Adalah hari bersejarah bagi PSS, tim yang berdomisili dibawah lereng Merapi dengan gagahnya berdiri di panggung final liga, PSBL Bandar Lampung yang akan menjadi lawan mereka difinal adalah tim yang tak bisa dipandang enteng, hanya sekali kalah diputaran grup dengan kolektifitas tim yang solid.

Biarkan saya mengomentari sedikit tentang jalannya pertandingan.
Dibabak pertama jelas terlihat kalahnya possesion ball PSS Sleman daripada Lampung FC, lini tengah Sleman terlihat timpang tanpa kehadiran rock midfielder macam Juan Revi.

Babak pertama berakhir dengan skor imbang meski saya akui saya ketar-ketir melihat pertahanan Ade Christian dan Ademund sempat diobok obok pemain Lampung FC.

Gol yang kami tunggu hadir dibabak kedua, Satrio Aji yang mendapat bola lalu menusuk kesisi kiri kotak pinalti PSBL kemudian melakukan shoot yang menerpa tiang gawang, bola memantul liar dan mengarah ke Agung Suprayogi yang berhasil menyontek bola masuk ke gawang Lampung, PSS scored and anyone happy, kami semua saling bersorak, berpelukan meski tak kenal satu sama lain di tribun.

Sayang mimpi juara didepan mata nyaris buyar, Lampung FC menyamakan kedudukan dimenit 70, memanfaatkan bola silang seorang pemain Lampung FC melakukan heading sembari menjatuhkan diri (setidaknya itu yang saya lihat ditribun), dan harus diakui itu adalah gol yang bagus dan pemanfaatan timing luar biasa.

Pertandingan harus dilanjutkan dengan extra tine, kedua kubu terlihat sudah mulai kelelahan dengan kondisi lapangan yang cukup licin setelah diguyur hujan.
Minimnya key passes dari second line menyulitkan Monieaga mendapat peluang, terlebih defender Lampung FC sangat lugas mengawal pemain dengan determinasi luar biasa tersebut.
Setelah 10 menit extra time tak kunjung mendapat kejutan, Mudah Yulianto yang memang sedang dalam topform menusuk lewat sisi kiri pertahanan Lampung FC kemudian mengirim umpan yang justru mengenai tangan pemain Lampung FC didalam kotak pinalti. PSS mendapat pinalti dimenit krusial !

Wahyu Gunawan yang turun sebagai eksekutor sukses mengangkangi kiper Lampung FC, skor 2-1 untuk PSS bertahan hingga peluit akhir.

PSS merengkuh gelarnya, Sang Elang terbang jauh, Euforia Sleman seperti Bosnia Herzegovina yang memastikan lolos Piala Dunia.
Gemuruh dalam stadion laiknya SS Lazio kala menjuarai Coppa Italia musim lalu.

Disudut stadion seorang pemuda berumur 20-an tahun menahan tangis haru, tangis bahagia, dulu ia diperkenalkan dengan PSS Sleman oleh bapaknya, kini ia menjadi saksi kehebatan tim kotanya bersama adiknya, tim yang tanpa sadar menempati satu ruang besar dihatinya, rasanya aneh, seperti ini kah rasanya juara ? ujarnya dalam hati.

Aku
Jika menangis adalah kesalahan, biarkan aku salah dan menjadi pendosa malam ini.
Ini tangis bahagia.
Ini tangis bangga.
Ini tangis seorang bocah yang selalu percaya, bahwa tim yang ia saksikan semasa kecil akan bermetamorfosa menjadi tim yang lebih kuat setiap harinya.




Dari Sleman, Pada Sleman, Untuk Sleman.








foto by : @balbalanID

Jumat, 08 November 2013

PSS Sleman, Rasa Cinta, Rasa Saling Memiliki.



Mungkin ada yang sedikit heran dengan apa yang terjadi dengan PSS Sleman 3 musim belakangan ini.
Bagaimana bisa tim yang berdomisili di kabupaten kecil yang peduduknya tak lebih dari 1.093.110 jiwa sempat membuat terheran-heran dengan masuk 10 besar salah satu web wadah suporter dunia, menduduki trending topic twitter tiap tim kecil ini berlaga, meski entah liga yang mereka ikuti diakui FIFA atau tidak.

Supporter, mereka lah sebenarnya nafas utama dalam sistem sepakbola modern sekarang ini, yang menjaga kelangsungan hidup suatu klub. Saya sendiri sudah terlalu bosan dijejali berita betapa lebarnya tentakel gurita bisnis Sleman Fans untuk ikut menghidupi PSS Sleman.

Beberapa tahun lalu, Liga Indonesia adalah liga yang dihidupi lewat APBD, ya tim-tim yang berlaga lebih banyak dibantu (baca: menghabiskan) uang hasil pajak untuk kepentingan klub, sedang klub sendiri terkesan adem-ayem tanpa mencoba mengeksploitasi rasa cinta dari masing-masing regional mereka.

Kesadaran suporter di Sleman tampak begitu terasa belakangan, masing masing wadah suporter  nampak begitu jeli memanfaatkan celah untuk memperkokoh sektor finansial klub, belum lama ini tersiar kabar jika salah satu wadah suporter mereka siap menggelontorkan dana hingga 50juta untuk PSS dari hasil geliat bisnis mereka, jumlah yang sedikit banyak mampu membantu klub yang berdiri tahun 1976 ini.



Untuk sektor kesadaran pemanfaatan rasa cinta yang saling menguntungkan mungkin bisa kita sudahi.

Berlanjut ke venue pertandingan.
PSS Sleman sudah tak asing dengan situasi gonta-ganti kandang, pernah memakai Mandala Krida yang notabene adalah kandang PSIM Yogyakarta saat ini, Stadion Tridadi, dan Maguwoharjo International Stadium.

Saat ini  sendiri PSS menggunakan Maguwoharjo International Stadium sebagai venue tiap mereka berlaga dengan status kandang, stadion yang berkapasitas 40.000 pasang mata tengah menjadi saksi bisu tiap PSS berlaga.
Maguwoharjo Stadium sendiri pernah memecahkan rekor pendapatan terbanyak kala PSS Sleman menjamu Persis Solo (9/6/2013) dalam lanjutan kompetisi DU LPIS 2013, hampir menyentuh angka Rp446 juta. Rata-rata pendapat tiap pertandingan sendiri ditaksir 350 juta / match.
dari data diatas bisa saya tarik kesimpulan bahwa PSS Sleman adalah klub yang kesehatan finansialnya sudah tak perlu diragukan, dan ini salah satu kelebihan Sleman untuk mendatangkan bintang dengan kualitas wahid musim depan, seperti kita ketahui bahwa masalah gaji terlambat hingga gaji tak kunjung turun adalah masalah yang membelit banyak klub di Indonesia.

Ada beberapa cerita menggelitik yang ingin saya ceritakan disini, tentu tak akan jauh dari rataan jumlah penonton karena kita sedang membahas bab ini.

Hari Jum'at, 1 November 2013. Manajemen PSS berencana menghelat laga pemanasan bagi Super Elja sebelum mengarungi semifinal DU LPIS, rencana awalnya PSS akan melakukan latih tanding dengan Timor Leste U-23 yang sebelumnya juga menjadi lawan tanding Timnas U-23.
Sebelum pertandingan, beberapa hari sebelumnya manajemen PSS mengeluarkan statement bahwa PSS akan dibantu beberapa punggawa Perseman Manokwari dan Persiba Bantul, kemudian menyebut brand PSS Plus pada pertandingan esok hari yang sontak membuat kedua wadah suporter Brigata Curva Sud dan Slemania mengernyitkan dahi.

2 hari sebelum pertandingan terjadi kampanye dimedia-media sosial bermaksud memboikot pertandingan karena berbagai sebab, ada yang nge-tweet "SUPORTER BUKAN SAPI PERAH !" - "PSS PLUS BUKAN PSS", dan lain sebagainya. Benar saja, menjelang kick off tak nampak keriuhan seperti tiap kali Sleman berlaga, stadion sunyi senyap dan target panpel mengenai pendapatan tiket meleset sangat jauh dari perkiraan.
Menurut saya pribadi, itu hal yang luar biasa, kesadaran mereka bahwa yang mereka dukung dan cintai tak bisa dimanipulasi, ini keselarasan logika dan perasaan. Dan ini adalah satu contoh gerakan bahwa manajemen tak semestinya memanfaatkan suporter seperti sapi perah, karena "Football (business) Without Fans Is Nothing", and you know what i mean...

Hasil kampaye lewat media sosial ? Bisa jadi

Sebagai catatan.Sleman Fans, bukan hanya sekumpulan pemuda fanatik yang rela mati konyol tanpa melakukan hal berarti bagi klub, mereka adalah generasi yang berfikir bahwa semangat, suara, harta, dan doa mereka tak akan sia-sia, dan tak boleh sia-sia.

PSS adalah candu bagi mereka, hiburan mendebarkan tiap akhir pekan setelah kelelahan 6 hari berkarya.
PSS adalah identitas, PSS adalah cinta, dan PSS adalah satu dari keluarga besar yang mereka miliki.

Salam.

Selasa, 05 November 2013

Pendakian Kedua Gunung Api Purba, Wonosari.

Tadinya judulnya mau saya tulis lebih spesifik, Gunung Api Purba Langgeran, Nglanggeran, atau Ngglangeran. tapi daripada saya salah terus didemo karyawan-karyawan se Wonosari yang belakangan lagi jadi tren di Ibukota, mending saya cari aman.

Minggu, 3 November 2013 lalu saya kembali mendaki gunung yang berketinggian 200-700 mdpl ini, setelah sebelumnya saya bersama rekan-rekan FAFIFU ADVENTURE, kali ini saya bersama pacar saya. Ambar namanya...iya namanya pasaran sih, sebelumnya saya udah ngasih advice gimana kalo dia ganti nama, jadi Martha atau Diana gitu, tapi ternyata nama kayak gitu udah dipake penjual martabak keliling sebelah buat namain gerobaknya.

Pukul 1 siang kami berangkat dari rumah, dan sampai di basecamp pendakian sekitar pukul 2 lebih. Kemudian ngedaftarin diri sambil bawa duit 18ribu buat parkir sama biaya masuk katanya.

Perjalanan sampai dipuncak tak memakan waktu terlalu lama biasanya, iya kalo yang diajak naik udah biasa jalan kaki, nah kebetulan Ambar ini ga biasa jalan kaki, kemana-mana dia lebih sering pake kereta mini atau odong-odong yang dihiasi kemerlip lampu warna-warni, ah sudahlah...

Singkat cerita setelah berkali-kali break diperjalanan, kami sudah berada sangat dekat dengan puncak Nglanggeran, sampai tiba-tiba Ambar minta berhenti lagi di jalur yang agak "nge-trek", terduduk sejenak lalu....cemilan dan susu yang dia makan sebelumnya muntah semua. "Dasar medioker, katanya pernah naik Merbabu sampai puncak cuman 4 jam, masa' sama Nglanggeran kalah" - kataku bermaksud ngasih motivasi yang malah terkesan ngeselin. iya tau deh.

Satu jam sudah kami jalan, sekitar pukul 4 sore angin dan suara gemuruh datang dari arah selatan. Aku mempercepat langkah biar bisa sampai puncak dan bikin doom sebelum hujan turun. Sementara itu Ambar duduk dibatu besar sambil mulutnya tertekuk hampir nangis gara-gara kecapekan ditambah lagi ngeliat cuaca yang seremnya kayak muka pacarnya ini.

"Tinggal sebentar lagi kan ?" -tanya dia.
"Iya, cuman situ kok, udah mau sampai kita" - jawabku
"Kamu tu daritadi bilang cuman situ, sebentar lagi sampai, dikit lagi kok terus ! mau nyiksa aku apa !!" - mukanya hopeless dan jadi jelek kayak setan di The Conjuring.

Aku ngeloyong keatas buat bikin doom, baru 5 menit aku sampai dan ngebongkar cover tenda eh anginnya tambah gede, ditambah Ambar teriak teriak dibawah nyari jalan naik...
"AKU KUDU PIYEEE !" ucapku dalam hati.

Hujan angin mulai turun, pukul 5 sore kurang lebih waktu itu, dan tenda belum berdiri, aku panik plus kedinginan, sementara ga tau kenapa Ambar malah tenang-tenang aja. Untung ada 2 orang mas-mas dari Riau yang kebetulan lagi naik, tenda kami berdiri meski sebelumnya salah ngerakit dan doyong-doyong kayak abis diminumin tuak.

Sejurus kemudian Ambar bilang "makanya kamu tu punya lemak" - iya, aku lelaki yang lemah pada dingin, aku nangis...tapi bohong.

Singkat cerita, mas-masnya turun dan ga tau kenapa tumben-tumbenan diatas itu sepi bingits ga ada tenda lain berdiri, padahal biasanya ada. Kami kesepian kayak Adam dan Hawa pas belum punya anak, ga lama kemudian ada pesan singkat masuk dari Advenda yang tanya "Apa kabar badai ? disini ujan angin" - lah ternyata yang dirumah juga kena angin ribut.

Setelah ganti dengan pakaian kering kami rehat selama beberapa waktu didalam tenda yang diguyur hujan dan angin. Romantis ? enggaaaak !

Kami tertidur hingga pukul 1 pagi sebelum dibangunkan derap langkah kaki orang, untunglah buka kami sendiri yang diatas, langit tampak begitu cerah saat itu, benda-benda langit begitu jelas, disini nih moment buat propose marriage. Kalo difilm-film pasti udah ada backsound Iron and Wine - Flightless Bird American Mouth trus kedua pasangan dansa dibawah sinar bulan terus ngasih cincin terus nikah terus bahagia selama-lamanya.
Kita engga, kita kedinginan dan itu udah ngebunuh momen, kita balik tenda tanpa backsound Iron and Wine tadi, malahan mas-mas yang barusan lewat nyanyi Lingsir Wengi, suasana jadi horor lagi.

Pukul 5 pagi kami bangun, Ambar yang kemarin nangis udah cantik lagi, tapi masih gendut.
perjalanan berat semalem kebayar udah dengan sunrise di puncak Nglanggeran, ga ada kabut tebal yang nutupin tebing tinggi disebrang kami, ga ada mas-mas yang nyanyi Lingsir Wengi, dan ga ada Megan Fox pake bikini pagi itu. Ambar tersenyum lebar, maklum dia tinggalnya di kutub jadi jarang liat matahari terbit secerah ini.

Riani KW 11, hngg....

Matahari semakin tinggi dan kami memutuskan untuk segera packing pulang, setelah ngumpulin sampah yang kami niati untuk dibawa pulang trus dijual ke pengepul rosok sebelah buat nambahin biaya sewa gedung besok kalo nikah, tapi ga jadi kami bawa pulang soalnya berat.

Sehari setelah perjalanan ini Ambar laporan kalo dia masuk angin akut dan bolak balik kamar mandi, dia diare akut gara-gara makan mi instan setengah mateng dan kopi primitif sewaktu dipuncak kemarin.
Dasar Medioker.
 
Blogger Templates