Social Icons

Pages

Senin, 13 Agustus 2012

Diantara 4 Sekat Dinding

Aku bukan seorang yang bisa begitu saja menurut apa skenario Tuhan meski aku tau tak akan mungkin makhluk sekecil aku merubah catatanku di Lauful Mahfuz, sekalipun aku bersukutu dengan Dajjal.

Sampai hari ini, ketika aku sudah menyelesaikan studi 9 tahun-ku pun, rasanya belum juga aku menemukan kebahagiaan yang orang-orang sekitarku temukan, agak miris. Bahkan aku masih saja seperti robot yang harus melakukan ini itu demi “terlihat bekerja”.

2 tahun aku terjebak disatu pekerjaan yang bukan passionku, bukan inginku, dan bukan lingkunganku.
Dekat dengan rumah orang tua ku memang, namun selama itu pula aku belum sanggup mencukupi periuk nasiku sendirian, entah apa yang salah.

Aku tau Tuhanku sudah mecatat perjalananku jauh sebelum aku lahir dari rahim ibuku, yang ingin aku pertanyakan adalah “apa aku harus seperti ini sampai tua nanti ? apa harus ? apa aku tak boleh berpaling ke jalan lain yang sepertinya lebih menarik ?”.

Ini bukan tulisan tentang kehilangan kepercayaan pada Tuhan atau lebih parah menuduh Tuhan memang berencana menjadikan aku seorang yang gagal seperti halnya Tesla yang gagal membuat mekanisme pertahanan perang. Ini lebih tentang kebingungan seorang cucu Adam yang terlampau sering dipagari situasi, tak bisa kemana-mana, dan hanya melakukan rutinitas itu-itu saja sepanjang umur.

Demi Tuhan aku tak ingin menjadi makhluk monoton.

Aku bukan termasuk masyarakat miskin, keluargaku berkecukupan meski kadang bisnis orang tuaku seret. Tapi kenapa sampai sekarang pun aku tak bisa lepas dari kegelisahan ? hampir tiap hari aku mengutuki diri sendiri karena masih juga tak bisa bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan untukku.

Jangan berpikir aku tak mencoba menemukan jalan keluar dari situasi membosankan ini, setumpuk buku tentang ketenangan batin, hingga psikologi sudah aku khatamkan, bahkan lebih sering aku mengkhatamkan buku tentang pencarian kebahagiaan daripada kitab suciku sendiri.

Terkadang aku bertanya, kenapa orang-orang dibawahku terlihat begitu bahagia ? bahkan pengangguran pun masih bisa tersenyum lebih bermakna daripada aku ? kenapa mereka bisa begitu bersyukur ? jelas-jelas aku yang ada diatas mereka saja kesulitan menemukan arti bahagia dan bisa bersenang-senang.

Nihil, aku hanya bersenang-senang selama 90 menit ketika aku bermain bola bersama teman sekampungku, aku bahagia ketika dekat dengan teman wanitaku, dan aku bisa tertawa sepuasnya ketika berkumpul dengan sahabat masa sekolahku, dan merasa sedikit tenang saat ditemani nikotin dan kafein selama 5 menit, semua menguap begitu saja ketika aku menginjakan kaki di rumah, terlebih ditempat aku bekerja, rasanya menyebalkan, lebih menyebalkan daripada saat aku harus minum oralit karena kalah taruhan.

Apa sekarang Tuhan sudah memberlakukan sistem voucher kebahagiaan ? apa aku sudah terlanjur menghabiskan sisa voucher bahagia ku sewaktu aku bersekolah ?
Apa aku kurang banyak menyebut nama-Mu dalam sembahyangku ? atau aku kurang lama bersujud ketika Engkau memanggilku di jam jam menyembahmu ? kurang apa ?.

Rabu, 01 Agustus 2012

SISUS - SUSANTO.


Siapa tak kenal Bapak muda ini ? pemuda Ledoksari lebih sering memanggilnya dengan nama panggilan “SISUS”.

Lelaki berperawakan seksi nan aduhai ini adalah salah satu pencetus gerakan Remaja Islam Al-Muhajjirin, pemuda pemudi yang lahir kisaran tahun 89-90’an pasti tak akan lupa bagaimana metodenya menggembleng pemuda masjid agar lebih dekat dengan agama.
Saat itu seingat saya ada 2 kelompok belajar membaca jilid hingga mampu melantunkan ayat suci dengan baik dan benar, saya sendiri berada dibawah didikan saudara Sisus sedang beberapa teman saya yang lebih junior dan mudah diatur didampuk pada anak didik beliau alumni pertama, Latief.

Secara harfiah, anak didikan beliau diangkatan saya rata-rata adalah anak yang cukup bandel dan sangat sulit diatur, termasuk saya sendiri tentunya. Namun metode didikannya yang keras dan berkontinyu mampu sedikit demi sedikit menaklukan kami.
Seingat saya, kala itu dikelompok kami ada 7 orang, saya lupa detailnya siapa saja anak anak yang beruntung memiliki guru ngaji sehebat beliau.

Sore, sekitar jam setengah 4 kami sudah harus rapi dan menata jilid dan meja guna kami mengaji, beliau adalah sosok luwes dan humoris meski kadang sangat keras. Tak hanya pelajaran mengaji yang kami dapat, namun shalat 5 waktu pun tak luput dari target beliau, generasi setelahnya harus lebih memperkokoh tiang agama.

Yang unik dari beliau adalah hukuman yang mendidik, tes kejujuran dan sehat. Barang siapa yang tak menegakkan sholat 5 waktu maka ia harus berkeliling lapangan depan masjid. Perhitungannya dalah 1 waktu sholat yang dilewatkan berharga 5x putaran lapangan, jika kami tak sekalipun menegakkan sholat maka 5x5 = 25 kali putaran lapangan, dan itu cukup untuk membuat anak sekecil kami kelelahan dan lebih memilih menegakkan sholat.

Secara berkelanjutan kami terbiasa menegakkan sholat, bukan hanya untuk menghindari hukuman, namun lebih karena kebiasaan. Soal kejujuran, beliau hanya memberi wejangan “siapa yang berbohong, maka pertanggung jawaban akan dilaksanakan setelah mati”, hebat benar ! anak kecil yang baru kemarin sore bisa menggapai telinga langsung dihadapkan pada gambaran tentang tanggung jawab di akhirat.
Selang satu Ramadhan kami diwisuda karena telah dianggap lulus dan mampu membaca Al-Qur’an dengan lancar, tepat dihari kelima-belas Ramadhan. Kini, sudah lebih satu dasawarsa sejak kami lulus, namun justru generasi Remaja Islam Al-Muhajjirin semakin sepi.

Pertanyaannya, bisa kah kita menghidupkan kembali masjid yang dulu menjadi tempat berkumpul, berdiskusi tentang kondisi Islam diluar sana, hingga menjadi titik berkumpul segala kegiatan yang baik ?
Semoga adik-adik angkatan saya mampu, Insya’Allah...
*ngaciiiir
 
Blogger Templates